Sukses

Koalisi Masyarakat Sipil Nilai RUU Kesehatan Cenderung Mengarah pada Liberalisasi, Layanan Kesehatan Dinilai sebagai Komoditi

RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan, yang mana layanan kesehatan dinilai sebagai komoditi.

Liputan6.com, Jakarta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan. Salah satunya, ditandai dengan mendorong kemudahan investasi di sektor layanan kesehatan sekaligus anggapan layanan kesehatan sebagai komoditi.

Adanya alasan tersebut membuat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan mendesak DPR dan Pemerintah untuk menunda Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law.

RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan, yang menjadikan layanan kesehatan, termasuk tenaga medis, sebagai komoditi, demikian bunyi rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan beberapa hari lalu.

Naskah RUU Kesehatan, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, sangat kental mendorong kemudahan investasi di bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi. Ini memiliki potensi mengabaikan pemusatan perlindungan kepentingan kesehatan publik.

Hal itu sejalan dengan usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kepada Pemerintah pada akhir 2021 untuk membentuk undang-undang omnibus law di sektor kesehatan, menyusul minimnya minat investor asing menanamkan modal mereka di industri kesehatan dalam negeri.

Kemudian menyusul minimnya bahasan industri kesehatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).

2 dari 3 halaman

Potensi Komersialisasi Sektor Kesehatan

Pada pernyataan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berharap undang-undang omnibus law di sektor kesehatan diharapkan dapat mencakup aturan terkait dengan pendidikan kedokteran, dan pembangunan rumah sakit.

Sekali lagi, ini senada dengan isi naskah RUU Kesehatan yang ada saat ini. Komersialisasi sektor kesehatan tidak hanya akan berpotensi memusatkan pasar kesehatan terutama di wilayah perkotaan, namun juga berpotensi memperluas kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah 3T di Indonesia, tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan.

Pandangan komersialisasi, lanjut Koalisi Masyarakat Sipil bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, yaitu memperluas penyediaan layanan kesehatan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah 3T.

3 dari 3 halaman

RUU Kesehatan Dipastikan Jauh dari Liberalisasi

Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Kesehatan Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago memastikan bahwa pihaknya akan mengawal pembahasan RUU tersebut jauh dari isu yang beredar tentang liberalisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi tenaga kesehatan.

"Saya pastikan RUU ini jauh dari sifat kriminalisasi, jauh dari leberalisasi, dan jauh dari merugikan organisasi profesi maupun masyarakat. Inti dari RUU ini adalah mengatur tata kelola kesehatan secara menyeluruh," ujar Irma dalam diskusi bertema 'RUU Kesehatan: Ancaman atau Angin Perubahan?' yang diselenggaranan Forum Diskusi Denpasar (FDD)-12, Rabu (17/5/2023).

RUU Harus Bermaslahat

Irma memahami apa yang menjadi keluhan beberapa organisasi profesi kesehatan yang berujung pada aksi demonstrasi beberapa waktu lalu. Ia menggarisbawahi RUU Kesehatan bertujuan untuk kemaslahatan tenaga medis dan masyarakat.

"RUU ini harus bermaslahat. Bukan hanya untuk organisasi profesi melainkan juga untuk anggota dari seluruh institusi terkait, dokter, perawat, bidan, apoteker, dan lain sebagainya," tandas Anggota Komisi Kesehatan DPR RI ini.

Irma Suryani Chaniago meminta agar masyarakat termasuk tenaga kesehatan tidak terhasut dengan kabar bohong terkait RUU Kesehatan.

"Perlu digarisbawahi bahwa yang beredar selama ini terlalu banyak hoaks. Ada kriminalisasi dokter, soal STR (Surat Tanda Registrasi), soal SIP (Surat Izin Praktik), semuanya itu tidak ada di RUU ini," jelas Anggota Fraksi Partai Nasdem itu.

Organisasi Profesi sebagai Operator

Lebih lanjut, Irma menjelaskan terkait perubahan di dalam RUU Kesehatan, antara lain organisasi profesi kesehatan tidak lagi menjadi regulator melainkan sebagai operator.

"Organisasi profesi tidak lagi menjadi regulator, tapi harus jadi operator. Fungsi organisasi profesi adalah menyejahterakan, melindungi, dan meningkatkan kemampuan anggota. Yang paling penting dari organisasi profesi adalah menjadi kontrol sistem yang efektif pada pemerintah dan DPR," urainya.

Meski demikian, Irma menyatakan bahwa pendirian organisasi profesi, termasuk profensi kesehatan dijamin UU dan tidak boleh dilarang.

"RUU ini mengakomodasi organisaai profesi, silakan didirikan, itu hak yang tidak boleh dibatasi," tukasnya.