Sukses

Menkes Budi Siapkan Metode Pengganti Mandatory Spending yang Dihapus di RUU Kesehatan

Sebagai pengganti mandatory spending atau besaran anggaran kesehatan di RUU Kesehatan yang dihapus, Menkes Budi Gunadi siapkan metode lain.

Liputan6.com, Jakarta Hasil akhir dari Pembahasan Tingkat I RUU Kesehatan antara Pemerintah dan Komisi IX DPR RI, mandatory spending atau besaran anggaran kesehatan sebesar 10 persen diputuskan tetap dihapus. Padahal, sejumlah pihak menolak penghapusan lantaran sangat dibutuhkan untuk standar alokasi pembiayaan.

Mandatory spending sendiri adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Terkait penghapusan mandatory spending, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, nantinya terdapat metode pengganti untuk alokasi anggaran kesehatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyiapkan metode tersebut.

Perkuat Integrasi Pusat, Daerah dan Lembaga Lain

Metode pengganti berfokus untuk memperkuat integrasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lain.

"Nah kami membangun mekanisme rencana induk kesehatan di mana nanti kita akan membangun rencana induk kesehatan ini di masa depan. Mengintegrasikan ya, ini penting karena mandatory spending itu kadang-kadang sulit mengintegrasikan," ungkap Budi Gunadi usai Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin, 19 Juni 2023.

"Jadi mengintegrasikan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan badan atau lembaga lain seperti BPJS yang juga memiliki dana-dana terkait dengan kesehatan agar terintegrasi jadi satu." 

2 dari 4 halaman

Konsultasi ke Komisi IX DPR RI

Usulan mengenai rencana induk kesehatan sebagai pengganti mandatory spending yang dihapus di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan juga dikonsultasikan ke Komisi IX DPR RI.

"Dan ini juga akan kami konsultasikan ke Komisi IX DPR RI. Dengan demikian, kita sama-sama akan jelas program-programnya apa," jelas Budi Gunadi Sadikin.

Pemerintah Support Program Kesehatan

Berkaitan dengan dana kesehatan, Menkes Budi Gunadi menuturkan, selama program kesehatan yang diajukan jelas, Pemerintah tetap mendukung dan akan mengalokasikan anggaran.

"Pengalaman saya di Pemerintah -- Kemenkes -- ini sudah hampir dua tahun. Selama programnya jelas, outcome-nya (hasil) jelas, spending-nya (pengeluaran) jelas, tidak pernah itu Pemerintah atau Menteri Keuangan tidak men-support (dukung) itu. Tidak pernah," tuturnya.

"Daripada kita taruh uangnya sekian, tapi programnya tidak ada. Nah, itu terjadi kebocoran, ketidakefisienan dari anggarannya yang kami berikan."

3 dari 4 halaman

Besaran Anggaran Kesehatan 10 Persen Masih Dibutuhkan

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti penetapan besaran anggaran kesehatan 10 persen di RUU Kesehatan masih sangat dibutuhkan. Hal ini merespons soal ramainya penolakan penghapusan anggaran kesehatan 10 persen di RUU dengan metode omnibus law tersebut.

Founder dan Chief Executive Officer CISDI Diah Satyani Saminarsih menjelaskan, mandatory spending anggaran kesehatan sebesar 10 persen sebenarnya dapat digunakan untuk membantu pembiayaan APBD sehingga memperluas ruang gerak fiskal upaya kesehatan di daerah.

"Kita dengan desentralisasi kesehatan 100 persen sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tentang Anggaran, maka kalau kesehatan tidak menjadi prioritas di daerah, dia akan sangat sulit untuk mendapatkan porsi anggaran dan tidak akan ada program untuk bisa mendukung kesehatan itu sendiri," jelas Diah saat Diskusi Publik, Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan pada Kamis, 8 Juni 2023.

Sebagai Penyangga Komitmen Daerah

Menurut Diah, mandatory spending anggaran kesehatan itu sebagai penyangga komitmen daerah. Sementara pemerintah pusat berupaya meningkatkan penggunaan anggaran tersebut.

"CISDI merasa penetapan mandatory spending saat ini masih sangat diperlukan sebagai penyangga komitmen daerah. Karena itu sangat, sangat dibutuhkan untuk memperluas ruang fiskal dari APBD," lanjutnya.

"Sambil kemudian pemerintah pusat meningkatkan kapasitas supervisi dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk memonitor efisiensi dan penggunaan anggaran kesehatan."

4 dari 4 halaman

Anggaran Kesehatan di 2023 Menurun

Diah Satyani Saminarsih melihat anggaran kesehatan sendiri pada tahun 2023 ini menurun. Berbeda dengan dua tahun sebelumnya tatkala Indonesia masih dalam situasi kegawatdaruratan COVID-19. 

"Kalau kita bilang bahwa tahun 2021 dan 2022 kemarin itu anggaran kenaikan meningkat karena kegawatdaruratan COVID-19, di mana itu dimasukkannya kesehatan ke dalam anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digunakan untuk penanganan COVID-19," imbuhnya.

"Tapi saat ini, di tahun 2023, anggaran tersebut sudah menurun karena dianggap tidak ada lagi kegawatdaruratan."

Kesehatan Kembali Menjadi Tidak Prioritas

Menilik penurunan anggaran kesehatan, Diah menyebut kesehatan akan kembali menjadi tidak prioritas.

"Nah, kalau komitmen ini menurun terus, maka kesehatan kembali menjadi tidak prioritas, bukan lagi menjadi prioritas dalam pembangunan," pungkasnya.

"Kalau misalnya kita lihat anggaran kesehatan di semua kabupaten/kota, rerata adalah 10 persen kurang lebih. Ada data dari Kemendagri yang bilang bahwa 58 dari 514 kabupaten/kota itu anggaran kesehatan masih di bawah 10 persen dengan distribusi yang timpang."