Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini polisi mengungkap kasus aborsi ilegal di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Bisnis terlarang berkedok ngontrak rumah ini dijalankan oleh orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan. Bahkan, alat yang digunakan bukan alat kesehatan khusus melainkan alat bersih-bersih rumah yakni vacuum cleaner.
Baca Juga
Terkait kasus aborsi ilegal yang terjadi, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo memberi tanggapan.
Advertisement
Menurutnya, kasus aborsi termasuk dalam masalah sumber daya manusia (SDM) yang tak terlihat.
“Unwanted pregnancy (kehamilan yang tak diinginkan) bisa terjadi kalau seandainya nikah menjadi bagian yang tidak terencana dengan baik,” kata Hasto dalam rangkaian acara Hari Keluarga Nasional 2023 di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/7/2023).
Aborsi juga terjadi akibat banyaknya toxic people (orang toksik) yang tidak memiliki perencanaan yang baik, pacaran, terjadi hubungan seksual sehingga hamil di luar nikah.
“Nah ini lah yang meningkatkan kejadian abortus kriminalis, abortus yang sifatnya kriminal.”
Hanya Boleh Dilakukan Orang Kompeten yang Punya Wewenang
Sebelumnya, kasus aborsi ilegal di Kemayoran juga mendapat tanggapan dari dokter spesialis kandungan yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Ari Kusuma Januarto.
Menurutnya, praktik aborsi hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan wewenang.
“Kalau ditanya seperti apa yang mereka lakukan, saya tidak tahu persis. Namun, yang pasti bahwa tindakan aborsi ini harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan wewenang,” kata Ari dalam keterangan video, Jumat 30 Juni 2023.
Perlu Tindakan Tepat untuk Keselamatan Pasien
Ari menambahkan, sebuah tindakan aborsi harus didasari oleh indikasi dan dilakukan dengan prosedur yang tepat mulai dari pra tindakan hingga setelah tindakan.
“Dan ini penting sekali karena tujuannya untuk keselamatan pasien.”
Mengingat, setiap tindakan medis memiliki risiko kesehatan tersendiri. Jika suatu tindakan medis tidak dilakukan oleh ahlinya dan tidak sesuai prosedur, maka risiko negatifnya tinggi.
Aborsi sendiri memiliki risiko seperti perdarahan dan ada pula risiko kejiwaan atau masalah mental. Maka dari itu, praktik aborsi tidak boleh dilakukan sembarangan, perlu ada pembinaan mental juga bagi pasien.
“Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan nomor 75 ayat 2 menyatakan bahwa ini pun (aborsi) hanya dilakukan atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.”
Dengan kata lain, di luar dari dua kategori itu, maka aborsi tidak boleh dilakukan.
Advertisement
Regulasi Aborsi
Ari pun membahas soal regulasi hukum aborsi. Menurutnya, ada sekitar 11 persen kehamilan yang tidak diinginkan.
“Mungkin karena masalah janinnya, kesiapannya, masalah soal, atau masalah kesehatannya sendiri.”
Oleh karena itu, lanjut Ari, secara hukum hal ini telah diatur oleh pemerintah yakni dalam:
- Undang-Undang Kesehatan Nomor 36
- Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Nomor 61
“Namun, kita tahu bahwa memang harus dipilah mana yang aborsi medis mana yang kriminalis. Ini juga mungkin regulasinya harus lebih diperjelas,” ucap Ari.
Lihat Kembali Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan Reproduksi
Lebih lanjut, Ari mengajak masyarakat untuk menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan Reproduksi.
“Di situ sudah diberi tahu siapa yang berhak melakukan (aborsi), bagaimana wewenangnya, dan fasilitas yang ditunjuk oleh pemerintah itu sudah tertera, tinggal dijalankan.”
“Yang menerapkan tentu pemerintah, kami dari profesi (dokter) siap membantu, siap mendampingi, sama-sama untuk menjalankan hal tersebut.
Ari pun merasa bahwa edukasi pada masyarakat masih menjadi hal penting. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang membutuhkan edukasi ini.
“Harus diedukasi agar tidak terjadi hal-hal kriminal seperti sekarang ini. Semua pihak harus berperan, dari departemen agama, sosial, kesehatan, tentunya ini untuk memberi layanan terbaik agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi,” tutup Ari.
Advertisement