Sukses

Jika Varian COVID EU.1.1 Terdeteksi di Indonesia, Akankah Status Kedaruratan atau KLB Ada Lagi?

Jika varian COVID EU.1.1 terdeteksi di Indonesia, akankah bakal ada lagi status kedaruratan atau Kejadian Luar Biasa (KLB)?

Liputan6.com, Jakarta - Sejauh ini informasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, varian COVID EU.1.1 belum terdeteksi di Indonesia. Lantas, jika varian 'anakan' Omicron XBB ini terdeteksi, akankah membuat Indonesia kembali lagi status kedaruratan atau penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB)?

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi pada Selasa (4/7/2023) menjelaskan, penilaian status kedaruratan kesehatan atau KLB itu membutuhkan kajian mendalam.  

"Bahkan untuk KLB pun tidak sembarangan. Nanti kita lihat seberapa besar perluasannya (persebaran varian EU.1.1), peningkatan kasusnya. Karena kan definisi KLB itu ada beberapa kriteria ya untuk dinyatakan KLB," jelas Nadia di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 4 Juli 2023.

"Tapi kalau untuk memutuskan ini kedaruratan, kita lihat juga. Kasus itu boleh bertambah besar, bertambah banyak, meningkat yang mungkin lebih dari kita perkirakan. Tapi selama fatalitasnya (kematian), kemudian pelayanan kesehatan masih bisa menanganinya, itu kita tidak menganggap sebagai masalah penyakit."

Tidak Menganggap sebagai 'Masalah'

Nadia mencontohkan, Indonesia di masa endemi sekarang, pemantauan COVID tetap dilakukan Pemerintah. Walau masih ada kasus COVID, penanganan sekarang tidak menjadi sebuah 'masalah' seperti halnya saat kedaruratan.

"Jadi orang misalnya kena COVID, tapi dia tidak bergejala atau bergejala ringan. Terus dia isolasi, dia sembuh. Bahkan lebih cepat 3-5 hari sembuhnya. Itu kita tidak akan menganggap sebagai masalah," imbuhnya.

2 dari 4 halaman

Sudah Jadi Penyakit yang Bisa Ditangani

Selepas Indonesia keluar dari pandemi COVID-19, penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu mulai ditangani seperti penyakit lainnya. Dalam hal ini, penyakit tersebut bisa ditangani.

"Walaupun nanti kasusnya 3.000, 4.000, 5.000. Artinya, itu sudah jadi seperti penyakit yang bisa ditangani," Siti Nadia Tarmizi menerangkan.

Tidak Berpotensi Jadi Pandemi Lagi

Selanjutnya, dari sisi fatalitas, ketersediaan Bed Occupancy Ratio (BOR) rumah sakit sangat memadai. Dengan demikian, meski kasus COVID naik, hal itu tidak lagi berpotensi menjadi pandemi.

"Kalau fatalitasnya masih 1 sampai 2 persen, di bawah angka kematian masih 100-200 itu tidak jadi salah satu kendala juga, termasuk juga keterisian perawatan rumah sakit, kalau BOR-nya masih bisa mencukupi," tutup Nadia.

"Masih banyak rumah sakit, masih kosong BOR. Walaupun kasus COVID-nya naik, itu tidak jadi masalah, tidak akan berpotensi menjadi pandemi."

3 dari 4 halaman

Terlalu Awal Dianggap sebagai Ancaman

Seperti diketahui, varian COVID EU.1.1 menyebar di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Epidemiolog Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan, jika dilihat dari perkembangan kasus secara global, EU.1.1 masih terlalu awal untuk dianggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman.

"Masih terlalu awal kalau (EU.1.1) kita anggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman. Tapi, prinsipnya adalah sekali lagi, semakin kita membiarkan virus ini menginfeksi ulang banyak orang, artinya kita mengundang masalah," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Senin (3/7/2023).

"Mengundang adanya atau lahirnya subvarian atau varian yang bisa benar-benar meniadakan efektivitas dari vaksin. Ini yang bahaya karena artinya bisa terjadi lonjakan kasus dengan keparahan dan kematian. Tentu itu masih teoritis tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi."

4 dari 4 halaman

Mutasi Virus Corona Masih Terus Terjadi

Menurut Dicky Budiman, perkembangan atau mutasi virus Corona masih akan terus terjadi. Apalagi jika manusia membiarkan virus untuk terus-menerus menginfeksi dan kasus baru bermunculan.

"Virus ini masih terus mutasi, tapi sejauh ini kalau bicara EU.1.1 kita belum melihat lampu merah atau sinyal serius. Hanya yang mesti diketahui, setiap turunan sekarang kecenderungannya semakin mengurangi efektivitas vaksin dan obat," ucapnya.

"Itu sebabnya booster menjadi penting terutama pada kelompok rawan yang khususnya setelah sudah enam bulan lalu mendapatkan vaksinnya."