Sukses

Antraks Bukan Hal Baru, Penyakit Zoonosis Ini Sudah Ada di Indonesia Sejak 1884

Baru-baru ini penyakit antraks sedang naik daun. Tepatnya usai temuan kasus antraks di Gunungkidul, DI Yogyakarta, yang menyebabkan setidaknya 93 orang positif dan tiga orang meninggal dunia.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini penyakit antraks sedang naik daun. Tepatnya usai temuan kasus antraks di Gunungkidul, DI Yogyakarta, yang menyebabkan setidaknya 93 orang positif dan tiga orang meninggal dunia.

Mulanya, warga mengonsumsi sapi dan kambing hasil sembelih yang sudah mati. Nahas, ternyata hewan-hewan itu terinfeksi antraks dan jadi awal mula penyebab penyebaran kasus di sana.

Terlepas dari hal tersebut, Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Dr drh Nuryani Zainuddin mengungkapkan bahwa hewan rentan yang dapat terkena antraks bukan hanya sapi, melainkan juga kambing, domba, kerbau.

Selain itu, kuda, babi, rusa, kelinci, marmut, hingga mencit turut masuk dalam kategori hewan yang bisa terkena antraks.

"(Antraks) tidak menyerang unggas dan burung, kecuali burung unta. Nah, kadang-kadang ada persepsi yang salah. Kemudian tidak juga menyerang hewan berdarah dingin," ujar Nuryani saat konferensi pers bersama Kementerian Kesehatan RI, Kamis (6/7/2023).

Antraks Menular dari Bakteri

Nuryani mengungkapkan bahwa antraks sendiri disebabkan oleh sebuah bakteri, bukan virus. Bakteri yang menyebabkan antraks adalah Bacillus anthracis.

"Jadi bersifat akut dan menyebabkan kematian pada hewan, dan ini zoonosis yang bisa menular dari hewan ke manusia," kata Nuryani.

Menurut pemaparan Nuryani, antraks di Indonesia sudah ada sejak tahun 1884. Bahkan, setiap tahunnya, antraks memang masih bermunculan.

"Setiap tahun memang terjadi kasus (antraks) yang sporadis, tidak endemis. Pada daerah tertentu-tentu saja, karena spora itu ada di daerah tertentu saja. Ketika ada faktor risiko, spora ini akan aktif menginfeksi kembali," kata Nuryani.

2 dari 4 halaman

Cara Mencegah dan Mengendalikan Antraks

Kabar baiknya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan penularan antraks agar tidak terus terjadi.

Nuryani mengungkapkan pencegahan dan pengendalian penyakit satu ini bisa dilakukan pada sumbernya yakni dengan melakukan vaksinasi di area endemi antraks, kontrol lalu lintas, dan tindakan disposal pada hewan terinfeksi.

Selain itu, menurutnya, yang paling penting dalam pengendalian antraks adalah meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap antraks. Sambil pemerintah berupaya memperkuat surveilans pada daerah endemi atau terancam, investigasi lapangan, dan pengobatan tepat.

Begitupun dengan kolaborasi lintas sektor. Kolaborasi antara Kementan, Kemenkes, pemerintah daerah, dan stakeholders lainnya tak kalah penting dalam upaya pengendalian antraks, kata Nuryani.

3 dari 4 halaman

Penanganan Saat Ada Hewan Positif Antraks

Nuryani turut menjelaskan apa-apa saja yang bisa dilakukan saat hewan antraks mati. Menurut Nuryani, sapi atau hewan lainnya yang positif antraks tidak boleh dibedah atau dibuka.

Artinya, saat sudah terinfeksi dan mati, hewan harus melalui proses pembakaran dan dikubur untuk mencegah penularan. Hindari membuka apalagi membedah hewan karena bisa menyebabkan spora menjadi aktif.

"Harus dibakar atau dikubur untuk mencegah penularan, karena ketika dibedah spora akan keluar, spora akan masuk ke dalam tanah dan bertahan selama puluhan tahun," kata Nuryani.

4 dari 4 halaman

Penyebab Antraks Tidak Bisa Hilang Total dari Suatu Daerah

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes RI, Dr Imran Pambudi. Imran membenarkan soal spora antraks yang bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Hal itu lantaran bakteri penyebab antraks jika sudah kontak dengan udara akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap lingkungan dan bahan kimia tertentu.

"Bakteri penyebab antraks ini bila kontak dengan udara itu akan membentuk spora, d imana spora ini fungsinya sebagai pelindung," ujar Imran.

"Sehingga bakteri yang ada di dalam spora ini akan sulit untuk mati, karena dia terlindungi dengan spora, dan ini bisa bertahan hingga puluhan tahun di dalam tanah," sambung Imran.