Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan yang dilayangkan oleh Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP).
Petisi ini disuarakan sejumlah guru besar pada Senin 10 Juli 2023Â menjelang Rapat Paripurna DPR RI terkait pembahasan RUU Kesehatan yang diagendakan hari ini.
Baca Juga
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menyesalkan sikap beberapa Guru Besar Ilmu Kedokteran dari universitas ternama yang mengkritisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan hanya berdasarkan provokasi dan fakta sesat yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu.
Advertisement
"Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan," ujar Syahril melalui pesan singkat yang diterima Health Liputan6.com pada Senin malam.
Layangkan Petisi Tolak RUU Kesehatan ke Jokowi dan Puan Maharani
Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi tolak RUU Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Petisi dilayangkan karena dinilai berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
"Karenanya, kami mengusulkan RUU Kesehatan Omnibus Law ini ditunda pengesahannya dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan," kata perwakilan FGBLP Laila Nuranna Soedirman dalam konferensi pers di hari yang sama.
RUU Kesehatan yang Ditolak Disebut Tidak Memadai Azas Sosial
Laila Nuranna Soedirman menyampaikan bahwa setelah membaca, menelaah, dan mendiskusikan secara seksama berbasis evidence based tentang RUU Kesehatan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah hal serius yang sangat perlu dipertimbangkan.
Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi azas sosial pembuatan UU, yaitu azas krusial pembuatan undang-undang.
Azas-azas itu di antaranya, azas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis), serta kejelasan rumusan.
"Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai UU Kesehatan yang lebih komprehensif dengan kebutuhan masyarakat," ujar Laila.
Advertisement
RUU Kesehatan Tidak Ada Kegentingan Mendesak
Kedua, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan. Terlebih lagi, RUU Kesehatan akan mencabut 9 UU terkait kesehatan.
Padahal, hampir semua UU tersebut dinilai masih relevan digunakan.
"Tidak ditemukan adanya redudansi dan kontradiksi antara satu sama lain. Di saat yang sama, negara kita sedang menyiapkan sebuah hajatan demokrasi yang memerlukan perhatian serius, yaitu Pemilihan Umum," Laila Nuranna Soedirman menambahkan.
Pasal-Pasal RUU Kesehatan Tidak Adekuat
Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) juga menilai sejumlah pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan pada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat.
Di antaranya, hilangnya pasal terkait mandatory spending anggaran 10 persen yang tidak sesuai dengan amanah abuja declaration Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lalu, munculnya pasal-pasal yang terkait ruang multi-bar bagi organisasi profesi.
Kemudian, adanya kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia, implementasi terkait proyek bioteknologi medis termasuk proyek genome yang mengakibatkan konsekuensi pada bio sekuritas bangsa, serta kelima kontroversi terminologi waktu aborsi.
"Kami mohon dan berharap kiranya masukan ini menjadi pertimbangan serius bagi Bapak Presiden dalam menentukan proses selanjutnya dari RUU Kesehatan ini," pungkas Laila Nuranna Soedirman.
Advertisement