Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, persoalan terkait fertilitas atau kesuburan kerap kali dikaitkan dengan gaya hidup. Mulai dari asupan makanan sehari-hari, kebiasaan merokok atau minum alkohol, hingga rutinitas olahraga.
Namun, perubahan iklim (climate change) ternyata turut memengaruhi kesuburan seseorang.
Baca Juga
Seorang peneliti kesehatan manusia dan planet di Stanford University, Amerika Serikat, Dr Britt Wray menjadi salah satu yang mendeskripsikan ketakutan manusia akan masa depan akibat adanya perubahan iklim.
Advertisement
Wray merujuk pada penurunan angka kelahiran yang terjadi pada banyak negara di seluruh dunia.
Data dari Office for National Statistics (ONS) menunjukkan bahwa tingkat kesuburan total turun menjadi hanya 1,58 anak per wanita pada 2020, terendah sejak pencatatan dimulai pada 1938.
ONS mengklaim tingkat kesuburan menurun karena sejumlah alasan lain. Seperti akses kontrasepsi yang lebih baik, wanita yang menunda menjadi ibu, dan wanita yang memilih punya lebih sedikit bayi.
Khawatir dengan Perubahan Iklim
Tetapi, menurut Wray dan akademisi lain, perubahan iklim juga harus disalahkan. Sebab, enam dari 10 orang disebut sangat khawatir dengan perubahan iklim.
"Penelitian terbaru tentang dampak psikologis dari perubahan iklim menunjukkan bahwa kecemasan orang tentang pemanasan global mungkin menjadi bagian dari cerita," ujar Wray mengutip DailyMail, Senin (16/7/2023).
"Tahun 2020 sebuah survei terhadap 2.000 orang Amerika menemukan 78 persen Gen Z tidak berencana atau tidak ingin memiliki anak karena perubahan iklim," sambungnya.
Ada pula responden yang mengaku mereka sangat khawatir tentang kesejahteraan anak-anak mereka karena adanya climate change.
Perubahan Iklim dan Penurunan Tingkat Kelahiran
Penelitian tentang dampak perubahan iklim dan kesuburan disetujui oleh analis Morgan Stanley.
Menurutnya, perubahan iklim adalah pendorong utama di balik penurunan tingkat kelahiran, yang memengaruhi kesuburan lebih cepat daripada tren sebelumnya.
"Gerakan untuk tidak memiliki anak karena ketakutan akan perubahan iklim tumbuh dan berdampak pada tingkat kesuburan lebih cepat daripada tren sebelumnya di bidang penurunan kesuburan," ujar Morgan.
Sementara itu, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications menemukan bahwa kesuburan pria tampak menurun saat suhu tengah melonjak.
Studi tersebut dianggap sebagai salah satu bukti jelas bahwa stres akibat gelombang panas yang terjadi mengurangi jumlah dan viabilitas (benih) sperma.
Advertisement
Kaitan Antara Perubahan Iklim pada Sperma
Penulis utama studi Kirs Sales dari University of East Anglia, Inggris, mengungkapkan bahwa penelitiannya menunjukkan bahwa gelombang panas berpengaruh dalam mengurangi kesuburan reproduksi pria.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa gelombang panas mengurangi separuh kebugaran reproduksi pria, dan sungguh mengejutkan seberapa konsisten efeknya," kata Kirs seperti dikutip USA Today.
Pada laki-laki, testis membuat sperma dan untuk melakukan ini suhu testis harus lebih dingin daripada suhu di dalam tubuh, menurut University of Rochester Medical Center, Amerika Serikat.Â
Suhu Tinggi Bisa Pengaruhi Sistem Reproduksi Pria
Studi itu turut menjelaskan bahwa kondisi gelombang panas sekitar 9-13 derajat Celsius di atas suhu tinggi selama lima hari berturut-turut dapat merusak sistem reproduksi pria.
"Gelombang panas mengurangi kesuburan laki-laki dan daya saing sperma, dan gelombang panas berturut-turut hampir mensterilkan laki-laki," kata studi tersebut.Â
Advertisement