Liputan6.com, Jakarta - Kesetaraan gender masih menghadapi masalah yang belum terselesaikan. Maka dari itu, pendidikan masyarakat harus ditingkatkan karena menjadi kunci utama dalam mencapai kesetaraan gender.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pengendalian Penduduk, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Bonivasius Prasetya Ichtiarto.
Baca Juga
"Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas," ujar Boni dalam peringatan Hari Kependudukan Dunia 2023 di Indramayu, Kamis 20 Juli 2023.
Advertisement
Boni menambahkan, meski akses ke pendidikan dasar telah meningkat di Indonesia, tapi masih ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan dalam partisipasi dan kesempatan belajar.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022 Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah penduduk perempuan 15 tahun ke atas lebih rendah dibanding laki-laki. Yakni 8,87 tahun berbanding 9,28 tahun.
Data tersebut menunjukkan perempuan masih menghadapi tantangan seperti pernikahan dini, penghapusan sekolah, dan stereotip gender yang menghambat mereka untuk meraih pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Di sisi lain, buruknya komunikasi antara orangtua dengan anak, termasuk anak perempuan menjadi salah satu halangan yang menyebabkan terjadi kehamilan sebelum menikah atau perkawinan anak, lanjut Boni.
Karena itu, dia berharap para remaja yang tergabung dalam Generasi Berencana (GenRe) bisa menjadi teman sebaya yang mampu mencarikan solusi positif bagi rekan-rekannya yang bermasalah. Terutama rekan perempuan. Sehingga mereka dapat bangkit dan merasa tidak terpinggirkan.
Untuk Mencapai Kesetaraan Gender Sejati
Lebih lanjut, Boni mengatakan, guna mencapai kesetaraan gender sejati maka anak laki-laki maupun perempuan perlu diberi kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.
"Untuk mencapai kesetaraan gender sejati, penting bagi kita untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak, tanpa memandang jenis kelamin mereka. Sehingga mereka dapat berkontribusi secara penuh dalam pembangunan negara," tutur Boni.
Tak lupa, kesehatan juga menjadi aspek penting dalam mencapai kesetaraan gender. Pasalnya, perempuan sering menghadapi tantangan kesehatan yang unik, seperti kehamilan, persalinan, dan risiko penyakit tertentu.
Sayangnya, masih terdapat kesenjangan dalam akses terhadap layanan kesehatan yang memadai bagi perempuan, terutama di daerah pedesaan.
Advertisement
Ketidaksetaraan Akses Kesehatan
Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Tahun 2022, perempuan desa yang menjalani persalinan di fasilitas kesehatan jumlahnya lebih sedikit ketimbang perempuan kota.
“Jumlah perempuan usia 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan di perkotaan sebesar 93,76 persen, sementara di pedesaan sebesar 85,51 persen.”
Data di atas menunjukkan adanya ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Ketidaksetaraan ini juga meningkatkan kerentanan perempuan dan anak perempuan terhadap praktik-praktik berbahaya dan kematian ibu yang sesungguhnya dapat dicegah.
"Diperlukan upaya yang lebih besar untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas," kata Bonivasius.
Dia menekankan bahwa kesetaraan gender bukan sekedar isu perempuan, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Dia yakin, melalui kerja sama yang kokoh antara pemerintah, lembaga pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat sipil, Indonesia dapat mewujudkan kesetaraan gender yang adil.
Potret Perempuan di Indramayu
Boni pun mengambil potret perempuan di Indramayu yang masih menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, masih banyak perempuan Indramayu yang bekerja sebagai pekerja migran, terutama ke negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, dan Arab Saudi.
Migrasi pekerja wanita ini sering kali berhubungan dengan sektor pekerjaan domestik atau pekerjaan di sektor informal. Mereka dapat menghadapi risiko eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan, serta kurangnya perlindungan hukum yang memadai.
Ketidaksetaraan gender juga masih menjadi masalah di Indramayu. Perempuan sering menghadapi penggajian yang tidak setara dengan laki-laki, kesempatan promosi yang terbatas, dan perlakuan yang tidak adil di tempat kerja.
Stereotip gender dan harapan tradisional juga dapat membatasi perempuan dalam memilih pekerjaan atau mengejar karier yang diinginkan.
Kasus perkawinan anak di Kabupaten Indramayu juga tinggi. Kasus itu berawal dari kemiskinan dan memicu perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga stunting.
Untuk mengatasi seluruh permasalahan tersebut, Bonivasius mengatakan diperlukan regulasi dan upaya kolaboratif serta berkelanjutan dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan lembaga sosial, serta memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Advertisement