Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan Indonesia resmi memasuki endemi pada Juni 2023 lalu. Kini, kabar vaksinasi COVID-19 yang akan berbayar pada tahun depan sudah terdengar.
Rencananya, vaksinasi berbayar di Indonesia akan mulai berlaku mulai tahun 2024. Lantas, sudah tepatkah keputusan tersebut?
Baca Juga
Epidemiolog Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa vaksin COVID-19 sebenarnya masih masuk dalam ranah public health intervention, yang mana harusnya ditanggung oleh negara.
Advertisement
"Di Australia khususnya, vaksin COVID-19 itu masih gratis. Ini sesuai dengan prinsip bahwa vaksin itu masuk kategori public health intervention atau intervensi kesehatan masyarakat yang notabene itu ada dalam kewajiban negara," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Selasa (25/7/2023).
Tidak Bisa Masuk Ranah BPJS
Dicky mengungkapkan bahwa berkaitan dengan public health intervention jugalah, vaksin COVID-19 kurang tepat jikalau masuk dalam ranah BPJS Kesehatan.
Sebab, menurut Dicky, institusi seperti BPJS Kesehatan tidak bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan negara yang memang memegang tugasnya.
"Masuknya dalam kategori itu (public health intervention). Itu sebabnya vaksin ini tidak bisa masuk ke BPJS, karena BPJS itu bukan public health," kata Dicky.
"(BPJS) bukan suatu institusi yang bergerak atau bertanggung jawab untuk kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat itu ada di Kemenkes dan di negara," sambungnya.
Vaksin COVID-19 Bayar Harus Lihat Konteks
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa merujuk pada public health intervention pula, vaksin COVID-19 bayar atau tidaknya harus melihat konteks.
"Keputusan untuk menerapkan vaksin COVID-19 ini berbayar menjadi harus dilihat konteksnya. Dalam artian, kalau itu untuk kelompok marginal, kelompok berisiko tinggi, vaksin primer, itu harusnya ditanggung oleh pemerintah," ujar Dicky.
Sedangkan, jika memang tidak masuk dalam kategori yang disebutkan, maka menurut Dicky, bisa saja vaksin COVID-19 dibuat berbayar.
"Misalnya masuk kelompok yang tidak berisiko tinggi, bukan juga vaksin primer, bisa saja (berbayar). Tapi tidak bisa dibebankan ke BPJS, dia harus mungkin asuransi lain atau bayar sendiri," kata Dicky.
Advertisement
Keamanan Situasi RI Jika Vaksin COVID-19 Bayar
Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa keputusan vaksin COVID-19 berbayar tentu tidak aman jika mengacu pada capaian vaksinasi yang belum tercapai khususnya booster pertama dan kedua.
"Tentu tidak aman dan cenderung menjauhkan dari target capaian vaksinasi," ujar Dicky.
Berdasarkan data Kemenkes RI per 25 Juli 2023, capaian vaksinasi booster pertama masih di bawah 40 persen, tepatnya 38,07 persen. Sedangkan, vaksinasi booster kedua masih sekitar 1,89 persen.
Jaga Imunitas Masyarakat dengan Vaksin COVID-19
Terlebih lagi, menurut Dicky, membiarkan vaksin COVID-19 tetap gratis juga punya keuntungan. Utamanya dalam menjaga modal imunitas masyarakat.
Bahkan, modal imunitas dari vaksinasi bisa tetap efektif untuk menghalau jika nantinya akan ada gelombang COVID-19 susulan.
"Itu (vaksin COVID-19 gratis) yang akan menjaga modal imunitas di masyarakat tetap kuat, tetap memadai untuk menghalau beragam gelombang atau kehadiran subvarian yang muncul atau varian (baru) yang muncul," pungkas Dicky.
Advertisement