Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi sorotan ilmuwan Inggris lantaran terdapat temuan virus COVID versi paling bermutasi (most mutated version). Varian virus COVID yang dimaksud berasal dari versi mutasi varian Delta yang dilaporkan memiliki 113 mutasi unik.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril membeberkan lebih rinci, dua faktor yang memengaruhi kemunculan varian COVID Delta yang paling bermutasi.
Baca Juga
"Temuan bahwa SARS-CoV-2 paling bermutasi di Indonesia, penjelasannya bisa salah satu dari ini. Pertama, surveilans genomik di Indonesia bagus, ya mungkin lebih bagus dibandingkan beberapa negara lainnya," ungkap Syahril saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Senin, 31 Juli 2023.
Advertisement
"Sehingga mampu cepat melihat terjadinya varian/subvarian baru yang muncul akibat mutasi."
Penularan Masih Banyak Terjadi
Selanjutnya, mutasi virus Corona hanya terjadi ketika terjadi transmisi. Dalam hal ini, faktor kedua adalah masih terjadi penularan COVID di Indonesia.
"Berarti penularan masih banyak terjadi di Indonesia. Ini karena di dunia, termasuk Indonesia sudah tidak ada pembatasan mobilitas dan aktivitas di ruang publik," terang Syahril.
Tidak Sebabkan Kenaikan Hospitalisasi
Meskipun ada temuan virus COVID-19 paling bermutasi ada di Indonesia, masyarakat tak perlu cemas. Sebab, di masa endemi sekarang, kemunculan mutasi SARS-CoV-2 ini tidak menyebabkan kenaikan perawatan di rumah sakit atau hospitalisasi.
Bahkan tidak menyebabkan kenaikan kematian atau mortalitas.
"Tapi kabar baiknya, mutasi yang menghasilkan varian/subvarian baru itu, tidak menyebabkan naiknya hospitalisasi dan mortalitas," Mohammad Syahril menjelaskan.
"Hospitalisasi dan mortalitas tetap sangat rendah, terkendali, bahkan makin turun dari waktu ke waktu. Artinya, mutasi tidak menghasilkan varian/subvarian baru yang tetap mempunyai virulensi dan patogenitas rendah."
Advertisement
Tidak Melihat Potensi Serius
Pertanyaan selanjutnya, apakah jumlah mutasi varian Delta ini menjadi peringatan (warning) kemunculan potensi serius?
Peneliti Global Health Security Dicky Budiman berpendapat tidak melihat adanya potensi serius seperti kenaikan kasus atau gelombang COVID. Terlebih lagi, Indonesia saat ini sudah berstatus endemi.
"Sebetulnya, kalau melihat data ini, saat ini, saya tidak melihat potensi yang namanya serius ya. Potensi serius dalam artian, berdampak seperti waktu Delta pertama," ucap Dicky saat dihubungi Health Liputan6.com pada Senin, 31 Juli 2023.
"Dan tentu ini kecil sekali saat ini kemungkinannya. Kecuali ada dampak dalam artian menurunkan secara signifikan efikasi dari efektivitas dari imunitas yang timbul, baik itu terinfeksi ataupun kombinasi dengan vaksinasi."
Proteksi Cukup Memadai
Menurut Dicky Budiman, perlindungan masyarakat Indonesia terhadap virus SARS-CoV-2 sudah cukup memadai. Dengan demikian, kematian dan keparahan dapat dihindari.
"Saya melihat saat ini masih cukup memadai ya proteksi. Sehingga dua hal yang dikhawatirkan, yaitu kematian atau mortalitas dan keparahan itu masih bisa kita hindari dengan modal imunitas, meskipun ada temuan ini (varian COVID paling bermutasi)," terangnya.
Upaya Mitigasi Pencegahan
Yang penting juga, dunia termasuk Indonesia masih memerlukan upaya mitigasi pencegahan.
"Dengan cara ya tetap memakai masker, terus melakukan perbaikan kualitas udara di dalam, di luar ruangan Kemudian upaya vaksinasi primer maupun booster untuk kelompok rawan," pesan Dicky.
Advertisement