Liputan6.com, Jakarta - Setelah menutupi peristiwa traumatis yang dialaminya sejak 2018, Michelle Ashley anak Pinkan Mambo akhirnya membongkar itu ke publik. Kasus ini pun belakangan jadi salah satu perbincangan terhangat.
Michelle Ashley merupakan korban pelecehan seksual dari ayah tirinya yang merupakan suami kedua Pinkan Mambo, Steve Wantania.
Baca Juga
Menurut pengakuan wanita berumur 17 tahun tersebut, ada banyak pertimbangan sebelum dirinya membongkar pelecehan seksual yang dialami. Mulai dari berpikir soal perasaan Pinkan Mambo hingga masa depan pelaku.
Advertisement
Namun, di samping itu, kriminolog sekaligus woman and child counselor, Haniva Hasna atau yang akrab disapa Iva menjelaskan hal apa saja yang sebenarnya wajar dirasakan oleh Michelle Ashley selaku korban pelecehan seksual.
Lantas, apa sajakah itu? Berikut di antaranya.
1. Tonic Immobility
Michelle Ashley mengungkapkan bahwa pelecehan seksual pertama yang dilakukan oleh Steve Wantania padanya terjadi ketika dia masih berumur 12 tahun. Kala itu, tubuhnya seolah membeku tak bisa berkutik.
"Pas pertama kali kejadiannya aku benar-benar shock dan aku kayak froze (membeku) karena shock dengan situasinya, karena di situ aku juga enggak ngerti tentang hal-hal kayak gitu," kata Michelle Ashley anak Pinkan Mambo.
Iva, menjelaskan, ketika berada dalam kondisi berbahaya atau traumatis, biasanya tubuh memang akan memberikan respons secara alami berupa melawan (fight), melarikan diri (flight), atau membeku (freeze).
"Nah, kondisi tubuh yang tiba-tiba membeku ketika merasa terancam disebut dengan tonic immobility. Tonic immobility sering kali dialami oleh korban kekerasan atau pelecehan seksual," ujar Iva melalui keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Selasa 1 Agustus 2023.
Tubuh Michelle Ashley Kaku Saat Pelecehan Seksual Terjadi
Lebih lanjut Iva mengungkapkan bahwa pada saat kejadian pelecehan seksual berlangsung, tubuh korban akan berubah menjadi kaku. Bahkan, korban bisa merasa seperti lumpuh dan pingsan seketika.
"Saat kejadian berlangsung, korban akan merasa tubuhnya seketika kaku dan sulit digerakan (lumpuh). Sehingga terkesan tidak memberikan perlawanan terhadap pelaku," kata Iva.
Iva menambahkan, tonic immobility terjadi dengan proses. Biasanya proses itu diawali dengan sebuah kesadaran jikalau ada ancaman atau situasi tidak aman.
"Selanjutnya, ada respon aktif untuk lari atau melawan. Namun karena takut yang terlalu besar malah justru membuat korban membeku atau mengalami kelumpuhan," ujar Iva.
"Bahkan pingsan sebagai respons dari ancaman yang ternyata tidak bisa dihindari. Lalu setelah sadar, korban akan diam dan menyesali kelumpuhannya," Iva menambahkan.
Advertisement
2. Merasa Malu Sebagai Korban Pelecehan Seksual hingga Salahkan Diri Sendiri
Selanjutnya, hal wajar yang dirasakan oleh Michelle Ashley adalah timbulnya rasa malu, takut, hingga menyalahkan diri sendiri. Michelle Ashley mengaku, ketiga perasaan itu menyelimuti dirinya usai kejadian.Â
Menurut Iva, hal itu juga yang menjadi alasan terbesar di balik korban pelecehan seksual yang kebanyakan enggan untuk membuat laporan.
"Alasan terbesar yang membuat korban enggan melapor karena merasa takut. Lalu ada rasa malu, tidak tahu mau melapor ke mana, dan merasa bersalah," kata Iva.
Iva menambahkan bahwa tidak mendapatkan kepercayaan saat melapor akan menambah trauma yang dialami korban pelecehan seksual seperti Michelle Ashley.
"Kondisi ini akan semakin memperparah trauma. Korban akan semakin menutup diri karena merasa tidak ada orang lain yang bisa menerima ceritanya," kata Iva.Â
3. Muncul Perasaan Cemas hingga Depresi dari Korban Pelecehan Seksual seperti Michelle Ashley
Iva, menuturkan, cemas dan depresi menjadi perasaan selanjutnya yang dapat dialami oleh korban pelecehan seksual seperti Michelle Ashley.
"Anak yang mengalami pelecehan atau kekerasan secara seksual, mereka sering menginternalisasi peristiwa tersebut, termasuk memiliki pikiran negatif tentang diri sendiri hingga dewasa," kata Iva.
Korban kemudian akan merasa rendah diri, mengalami masalah tidur, gangguan makan, mengisolasi atau mengasingkan diri, dan yang paling berat adalah keinginan untuk mengakhiri hidup.
"Mereka (juga bisa) memandang bahwa hubungan seksual adalah sesuatu yang menakutkan dan menjijikan," ujar Iva.
Advertisement