Liputan6.com, Jakarta - Pemanasan global adalah peningkatan suhu permukaan bumi secara global yang luar biasa cepat akibat gas rumah kaca yang yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, menurut NASA.
Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan iklim, yaitu perubahan suhu dan pola cuaca di suatu tempat dalam jangka panjang.
Baca Juga
Fenomena ini dapat mengakibatkan punahnya beberapa spesies flora dan fauna serta memicu penyebaran berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah—karena kenaikan suhu memperluas jangkauan nyamuk yang menyebarkan penyakit. Mengutip dari National Geographic, kasus kolera dan penyakit lain yang ditularkan melalui air juga akan meningkat.
Advertisement
Tak hanya itu, mengutip dari Los Angeles Times, sebuah studi baru menunjukkan bahwa jumlah orang dewasa di Amerika yang menderita diabetes akan meningkat lebih dari 100.000 per tahun akibat fenomena ini.
Padahal, diabetes merupakan penyakit yang dikembangkan akibat obesitas dan gaya hidup tidak sehat seperti makan berlebihan, sedentary lifestyle serta jarang berolahraga. Lantas, bagaimana ini bisa terjadi?
Berbeda dengan penyakit lain yang telah disebutkan sebelumnya, para peneliti berpikir mungkin alasannya terletak pada aktivitas brown fat.
Juga akrab disebut sebagai jaringan adiposa coklat (BAT), brown fat adalah jaringan lemak berwarna kecokelatan yang terdapat pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, sumsum tulang belakang, area sekitar tulang belakang bagian bawah, pundak, dan leher, menurut KlikDokter.
Brown Fat Dapat Membakar Kalori
Berbeda dengan jaringan lemak tubuh lainnya yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan, brown fat berperan menghasilkan energi dan membakar kalori.
Brown fat menghasilkan energi dan panas di dalam tubuh dengan menggunakan gula dan lemak di dalam darah, dikutip dari KlikDokter. Karenanya, jaringan lemak ini dapat membantu mengontrol kadar gula darah.
"Orang dengan brown fat lebih banyak juga memiliki kontrol gula darah (glukosa) yang lebih baik. Jadi, berpotensi untuk penanganan diabetes,” jelas dr. Alvin Nursalim, Sp.PD kepada KlikDokter.
Kendati demikian, lemak ini hanya dapat aktif di lingkungan dengan temperatur rendah, yang tentu saja, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi akibat pemanasan global.
Hal ini sejalan dengan temuan studi tahun 2015 yang meneliti delapan orang dewasa dengan diabetes tipe 2. Studi ini menemukan bahwa setelah menghabiskan 10 hari dalam cuaca yang cukup dingin, metabolisme tubuhnya membaik dan mereka menjadi lebih sensitif terhadap insulin, membalikkan gejala utama penyakit ini.
Lebih lanjut, sebuah studi tahun 2016 juga menemukan korelasi antara suhu dengan kadar gula darah yang disebut HbA1c, yaitu semakin tinggi suhu, maka begitu pula dengan kadar HbA1c.
Advertisement
Hubungan Perubahan Iklim dan Diabetes
Temuan-temuan semacam itu membuat para peneliti Belanda bertanya-tanya apakah perubahan iklim dapat menjadi alasan peningkatan jumlah penderita diabetes di seluruh dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 1980, terdapat 108 juta orang dewasa menderita penyakit ini, yang meningkat hingga 422 juta pada 2014.
Alhasil, para peneliti mulai mengumpulkan data prevalensi diabetes tahunan 50 negara bagian dari 1996 hingga 2013 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS sambil memperhatikan data suhu rata-rata tahunan setiap negara bagian yang didapat dari Pusat Informasi Lingkungan Nasional.
Setelah dibandingkan, peneliti menemukan bahwa semakin tinggi suhu rata-rata suatu tempat di waktu tertentu, semakin tinggi pula angka diabetes. Secara keseluruhan, karena suhu tahunan rata-rata naik 1 derajat Celsius (1,8 derajat Fahrenheit), jumlah kasus diabetes naik 3,1 per 10.000 orang.
Mengingat bahwa obesitas adalah faktor risiko diabetes tipe 2, para peneliti juga menemukan bahwa setiap 1 derajat Celsius kenaikan suhu dikaitkan dengan peningkatan prevalensi obesitas sebanyak 0,173 persen.
Semakin Tinggi Temperatur, Semakin Tinggi Prevalensi Diabetes
Bahkan, ketika para peneliti menyesuaikan prevalensi obesitas di setiap negara bagian, mereka menemukan bahwa 1 derajat kenaikan suhu dikaitkan dengan 2,9 kasus tambahan diabetes per 10.000 orang.
Kesimpulannya, semakin tinggi temperatur suatu tempat, semakin tinggi pula prevalensi diabetes. "Tidak ada pola geografis yang jelas yang bisa menjelaskan hubungan ini," tulis para peneliti.
Para peneliti juga melihat hubungan antara temperatur dan kondisi yang berkaitan dengan diabetes tipe 2 di luar Amerika Serikat.
Dipublikasikan dalam jurnal BMJ Open Diabetes Research & Care, mereka menemukan bahwa ketika suhu naik 1 derajat Celsius, prevalensi gula darah puasa naik hampir 0,2 persen dan prevalensi obesitas naik hingga 0,3 persen.
"Data kami konsisten dengan hipotesis bahwa penurunan aktivitas BAT yang bersamaan dengan meningkatnya suhu lingkungan dapat memperburuk metabolisme glukosa dan meningkatkan kejadian diabetes," tulis para peneliti.
Intinya adalah semakin tinggi temperatur, semakin sedikit pekerjaan yang harus dilakukan brown fat.
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement