Sukses

Respons Kemenkes soal Polusi Udara Jakarta Berisiko Terjadi Penggumpalan Darah

Polusi udara Jakarta disebut-sebut berisiko terjadinya penggumpalan darah oleh media asing.

Liputan6.com, Jakarta Polusi udara Jakarta disebut-sebut dapat memicu risiko penggumpalan darah menurut pemberitaan sejumlah media asing. Sebut saja, New York Times yang menuliskan, tak hanya Jakarta yang mengalami masalah serupa, melainkan kota-kota di Asia, Afrika, dan Amerika Latin juga mengalami dampak polusi udara.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menjelaskan, penggumpalan darah akibat dampak polusi udara bisa saja terjadi.

Kondisi ini terjadi apabila saluran napas terus menerus terpapar dengan polutan atau partikel-partikel berbahaya dari polusi udara.

"Kita enggak tahu nih, polusi udara sudah berapa banyak di beberapa wilayah, tapi kan kalau sudah dianggap polusi, berarti mengandung zat yang bisa membahayakan," jelas Syahril kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Selasa, 15 Agustus 2023.

"Saluran napas yang diserang terus ya mengganggu aliran darah, terjadi penggumpalan darah dan seterusnya."

Saluran Napas Menjadi Kotor

Paparan polutan akibat polusi udara yang masuk ke tubuh, lanjut Syahril, dapat membuat saluran pernapasan menjadi kotor. Paparan polusi juga bisa kena mata dan kulit.

"Pertama, (dampak) polusi udara itu bisa kena mata, kulit, saluran napas. Nah, saluran napas berarti menjadi kotor. Ini karena polusi yang mengandung oksidan atau partikel-partikel yang membahayakan masuk ke saluran napas," katanya.

2 dari 4 halaman

Merusak Saluran Napas

Kembali ditegaskan Mohammad Syahril, dampak polusi udara dapat merusak saluran pernapasan.

"Bisa merusak saluran napas. Saluran napas itu kan ada yg disebut sistem skrining atau penapisan saluran napas," tegasnya.

"Kayak bulu hidung, lendir atau segalanya itu bisa rusak. Bisa rusak karena banyaknya atau partikel beracun tadi."

Merusak Hati sampai Sebabkan Serangan Jantung

Dalam artikel New York Times berjudul, Air Quality This Week Gives U.S. a Glimpse of the World’s Air Pollution, Organisasi Kesehatan Dunia  (WHO)menemukan bahwa 99 persen populasi dunia tinggal di tempat yang tidak memenuhi pedoman kualitas udara yang sehat.

 

Udara yang buruk bisa berbahaya, terutama jika Anda menghirupnya seumur hidup. Efek jangka pendek termasuk batuk, kemacetan dan peradangan, tulis New York Times.

Paparan jangka panjang dapat merusak hati dan otak Anda, serta meningkatkan risiko penggumpalan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung.

 

3 dari 4 halaman

Tingkat Polusi Udara Tak Sehat Hampir Tiap Hari

Masalah kualitas udara di Jakarta juga menjadi sorotan media asing lainnya. South China Morning Post (SCMP) dalam artikel bertajuk, Jakarta named world’s most polluted city, as Indonesian residents worry about health risks.

Artike menuliskan bahwa secara konsisten menduduki peringkat di antara 10 kota paling tercemar secara global sejak Mei 2023. South China Morning Post menulis, data ini didapatkan dari perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir.

Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, mencatat tingkat polusi udara yang tidak sehat hampir setiap hari, menurut IQAir, tulis SCMP.

Media SCMP menyampaikan bahwa secara teratur Jakarta mencatat tingkat "tidak sehat" untuk konsentrasi partikel kecil yang dikenal sebagai PM2.5, yang dapat menembus saluran udara dan menyebabkan masalah pernapasan, berkali-kali lipat dari tingkat yang direkomendasikan WHO.

4 dari 4 halaman

Pengaruh Pola Cuaca dan Emisi Kendaraan

Ada juga media The Peninsula Qatar dalam artikelnya menyebut bahwa Pemerintah Indonesia menyalahkan lonjakan polusi di ibu kota Jakarta karena pola cuaca dan emisi kendaraan.

Jakarta dan sekitarnya membentuk megalopolis berpenduduk sekitar 30 juta orang, dan konsentrasi partikel kecil di udara yang dikenal sebagai PM2.5 telah melampaui kota-kota berpolusi berat lainnya, demikian ditulis dalam artikel berjudul Indonesia says capital pollution spike due to weather, vehicles.

Sementara itu, aktivis menyalahkan kabut asap beracun tingkat tinggi pada sekelompok pabrik dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di dekat kota.

Greenpeace Indonesia mengatakan, ada 10 pembangkit listrik semacam itu dalam radius 100 kilometer (62 mil).