Sukses

Turun Tangan dalam Kasus Bullying Calon Dokter Spesialis, Kemenkes Beberkan Alasannya

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI turun tangan dalam kasus perundungan yang terjadi pada para calon dokter spesialis atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

Liputan6.com, Jakarta Dalam sektor mana pun, perundungan atau yang sering disebut dengan bullying merupakan hal tidak dapat dibenarkan. Sayangnya, perundungan turut terjadi dalam dunia pendidikan kedokteran.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI membongkar adanya laporan terkait perundungan yang terjadi pada para calon dokter spesialis atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di rumah sakit tempat mereka bekerja.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, dr Azhar Jaya, SKM, MARS pun mengungkapkan apa alasan pihaknya sampai perlu turun tangan dalam kasus perundungan yang terjadi pada para calon dokter spesialis.

"Saya banyak mendapat pertanyaan dari para sejawat teman direktur utama semua, 'Kenapa sih Kementerian Kesehatan ikut campur dalam urusan perundungan?'," kata Azhar melalui konferensi pers secara daring bersama Kemenkes RI ditulis Jumat, (18/7/2023).

Kemenkes Turun Tangan terkait Perundungan

Menurut Azhar, Kemenkes RI turun tangan pada kasus perundungan yang terjadi pada puluhan calon dokter lantaran ingin memberikan pelayanan yang terbaik.

Seperti diketahui, pihak Kemenkes RI tengah mengupayakan adanya transformasi layanan kesehatan. Transformasi itu dipercayai bukan hanya berlaku untuk masyarakat, melainkan pula untuk para tenaga kesehatan dan peserta didiknya.

"Ini semata-mata kami lakukan karena kami ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Kita sedang melaksanakan transformasi kesehatan. Jadi pelayanan ini bukan hanya buat pasien. Tapi seluruhnya, baik karyawan, termasuk peserta didik," ujar Azhar.

2 dari 4 halaman

Kemenkes Tak Ingin Peserta Didik Kedokteran Alami Perundungan

Lebih lanjut, Azhar mengungkapkan bahwa pihak Kemenkes RI hanya tidak ingin ada peserta didik dokter spesialis yang mengalami kejadian di luar kepentingan terkait pendidikan.

"Kami tidak ingin ada peserta didik yang mohon maaf sekali, mereka sudah tidak bisa praktik, tidak bisa kumpul dengan keluarga karena sedang melakukan proses pendidikan, kemudian masih harus mengeluarkan biaya-biaya yang tidak terkait dengan pendidikan," ujar Azhar.

Menurut Azhar, masalah perundungan yang terjadi di dunia kedokteran seperti ini menjadi perhatian bagi Kemenkes RI.

"Tentu saja ini menjadi concern kita bersama supaya nanti proses pendidikannya bisa berjalan dengan baik, dan menghasilkan dokter yang bermutu, profesional, dan tentu saja bermartabat," kata Azhar.

3 dari 4 halaman

Awal Mula Kasus Perundungan Calon Dokter Spesialis

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menceritakan bagaimana awal mula laporan perundungan pada puluhan calon dokter spesialis bisa terbongkar.

Puluhan dokter tersebut diketahui tengah mengikuti PPDS. Pria yang akrab disapa BGS ini menyebut perundungan mulai terkuak usai muncul video di media sosial yang membahas pelayanan sangat buruk di RSUP H Adam Malik.

Setelah diselidiki, dokter yang memberikan layanan buruk itu mengaku stres karena mendapat perlakuan yang buruk di tempatnya bekerja.

"Ada dokter yang memberikan layanan sangat buruk dan kasar kepada pasien. Sesudah kita cek, ternyata yang bersangkutan adalah peserta didik dokter spesialis yang kemudian stres karena memang mendapatkan perlakuan dan juga jam kerja yang sangat jauh di luar norma," ujar Budi Gunadi Sadikin.

4 dari 4 halaman

Masuk Laporan Perundungan, Kemenkes Buka Kanal Aduan

Budi mengungkapkan bahwa setelah kejadian itu, Kemenkes RI mengeluarkan Instruksi Menteri khusus untuk melaporkan soal perundungan yang terjadi.

"Kita lakukan diskusi dengan banyak peserta pendidikan spesialis di banyak rumah sakit, dan kesimpulannya mendekati 100 persen menyampaikan hal yang sama (ada perundungan). Itu yang menyebabkan kita mengeluarkan Instruksi Menteri," kata Budi.

Budi Gunadi menjelaskan, pihak Kemenkes RI akhirnya menemukan fakta yang selaras dengan hasil diskusi itu. Ada banyak laporan yang masuk setelah kanal pengaduan dibuka.

"Kata-kata yang sangat kasar, ngomong mengenai binatang ke anak-anak. Ada kata-kata yang sangat rasialis. Malah juga ada buku panduan yang harus diikuti, apa yang di situ menurut kami tidak pantas dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan," ujar Budi.