Sukses

Menkes Budi Sebut 2 Alasan yang Bikin Diagnosis Kanker di Indonesia Terlambat

Menkes Budi mengatakan, diagnosis kanker yang terlambat disebabkan oleh beberapa hal antara lain jumlah dokter spesialis dan alat kesehatan kurang.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa hampir 70 persen kematian akibat kanker di dunia terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Hal ini terjadi karena dua dari tiga pasien kanker di Indonesia didiagnosis pada stadium lanjut. Padahal 30 hingga 50 persen kanker bisa diobati jika ditemukan di awal,” kata Menkes Budi dalam pembukaan “Precision Oncology Symposium: Addressing Diagnostic Gaps in Personalized Cancer Care” bersama Roche Indonesia melalui pesan video, Sabtu (26/8/2023).

Budi menambahkan, diagnosis kanker yang terlambat disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

Jumlah Dokter Spesialis dan Alat Kesehatan Kurang

Hal pertama yang disebut sebagai penyebab terlambatnya diagnosis kanker adalah kurangnya jumlah dan distribusi dokter spesialis serta alat kesehatan (alkes).

Hal ini mengakibatkan antrean yang panjang dan waktu tunggu yang lama. Sehingga, akses ke layanan kanker amat terbatas.

Kemampuan Tenaga Kesehatan Belum Optimal

Penyebab kedua adalah kemampuan tenaga kesehatan (nakes) dalam mendiagnosis kanker belum optimal. Ini menyebabkan kurangnya kualitas layanan di rumah sakit.

“Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berkomitmen memperluas akses pelayanan kanker di rumah sakit. Baik melalui pemenuhan alat kesehatan maupun penyediaan sumber daya manusia (SDM) melalui program pendidikan dan pelatihan,” kata Budi.

2 dari 4 halaman

Diagnosis Kanker Perlu Mengikuti Perkembangan Teknologi Terbaru

Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa pendekatan diagnosis kanker perlu mengikuti perkembangan teknologi terbaru.

“Pendekatan diagnosis kanker perlu mengikuti perkembangan teknologi terbaru. Pemeriksaan kanker berbasis genetik dapat membantu pemeriksaan kanker secara dini, akurat, dan tepat,” ujarnya.

Untuk mendukung hal ini, Kementerian Kesehatan menetapkan Rumah Sakit Kanker Dharmais sebagai koordinator hub Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi). RS ini bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan precision medicine (pengobatan tepat) untuk kanker.

3 dari 4 halaman

Pengembangan Layanan Precision Medicine Kanker

Pengembangan layanan precision medicine kanker atau pengobatan presisi dinilai penting karena dapat mendeteksi risiko kanker secara dini dan mendeteksi biomarker obat demi terapi yang presisi.

Pengobatan presisi juga dapat mengoptimalkan pilihan pengobatan yang memberi respons maksimal dengan efek samping minimal.

Namun, upaya menanggulangi kanker secara masif dan terintegrasi memerlukan dukungan semua pihak.

“Peran dari organisasi profesi, swasta, dan organisasi masyarakat sebagai mitra pembangunan kesehatan nasional terus dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama dalam menyehatkan bangsa,” ucap Budi.

4 dari 4 halaman

Kolaborasi Multidisiplin untuk Tingkatkan Efisiensi Penanganan Kanker Paru

Salah satu jenis kanker yang jadi perhatian di Indonesia dan dunia adalah kanker paru.

Kanker paru adalah salah satu bentuk kanker yang paling umum dan mematikan. Penyakit ini bertanggung jawab atas lebih banyak kematian dibandingkan gabungan kanker payudara, kolorektal, dan prostat.

Pada diagnosis kanker paru, pengambilan sampel kini dihadapkan pada serangkaian tantangan, termasuk keterbatasan ketersediaan instrumen dan kurang optimalnya integrasi antar- disiplin ilmu yang relevan.

Senada dengan Budi, dalam kesempatan yang sama konsultan patologi anatomi RS dr. Sardjito, Didik Setyo Heriyanto mengatakan, untuk meningkatkan efisiensi penanganan kanker paru, dibutuhkan kolaborasi multidisiplin sejak fase awal.

“Melibatkan para ahli dari bidang paru onkologi, patologi anatomi, dan radiologi onkologi. Sinergi ini tidak hanya memastikan akuisisi informasi yang mendalam namun juga optimasi dalam pengambilan sampel untuk evaluasi laboratorium.”

Pendekatan kolaboratif ini berpotensi mempercepat hasil pemeriksaan, mengurangi durasi yang awalnya lebih dari 2 minggu menjadi 5-10 hari. Dengan kecepatan respons yang meningkat, pasien memiliki akses dini pada terapi target seperti EGFR, ALK, dan imunoterapi PD-L1, disamping pilihan terapi konvensional lainnya.