Liputan6.com, Jakarta - Kata 'healing' menjadi begitu hits dalam beberapa waktu belakangan. Tak jarang, kata yang bermakna cukup berat ini disalahartikan dan dianggap bukan sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Padahal, healing yang tidak diusahakan dengan tepat dapat berdampak pada kehidupan seseorang. Bahkan, bisa terpendam terus-menerus, menjadi sebuah trauma, dan akhirnya 'menjelma' dalam banyak bentuk yang kerap tak disadari.
Baca Juga
Trauma yang tidak disembuhkan sendiri bisa terjadi antargenerasi.
Advertisement
Menurut American Psychological Association (APA), trauma antargenerasi adalah fenomena di mana seseorang mengalami peristiwa mengerikan dan menunjukkan reaksi emosional dan perilaku yang merugikan dan serupa dengan apa yang pernah terjadi padanya di masa lampau.
Pendiri dan direktur eksekutif International Center for Multigenerational Legacies of Trauma di New York, dr Yael Danieli yang telah meneliti respons trauma selama puluhan tahun mengungkapkan bahwa trauma yang dimiliki seseorang, termasuk dari keluarga bisa diturunkan ke antargenerasi.
"Ya, jika tidak disembuhkan dan tidak diatasi, luka traumatis dapat diturunkan secara tidak disengaja," ujar Yael mengutip Everyday Health, Minggu (27/8/2023).
Jenis Trauma yang Signifikan Dampaknya
Ada beberapa jenis trauma yang dinilai punya dampak signifikan. Seperti trauma atas perbudakan, pelecehan seksual, penelantaran secara emosional, fisik, dan seksual, serta kemiskinan. Jenis trauma tersebut bisa berdampak pada para penyintasnya dan diturunkan ke generasi selanjutnya.
"Ada berbagai cara di mana gaya adaptasi pasca-trauma leluhur dan orangtua dapat memengaruhi keturunan mereka, dan cara-cara ini bersifat multidimensi," kata Yael.
Pengalaman Negatif yang Diturunkan Lintas Generasi
Merujuk pada penjelasan APA, trauma antargenerasi terjadi ketika pengalaman negatif diturunkan dari generasi ke generasi.
Hal itu dikarenakan trauma bisa memengaruhi seseorang bertindak dari bagaimana mereka dibesarkan, apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka menghadapi dunianya.
"Hal ini (trauma) bisa terekspresikan secara biologis, psikologis, perilaku, antarpribadi, budaya, bahkan secara nasional," sambungnya.
Studi bertajuk Association Between Maternal Adverse Childhood Experiences and Mental Health Problems in Offspring: An Intergenerational Study dan dipublikasikan dalam National Library of Medicine menjadi salah satu yang pernah membahas hal satu ini.
Advertisement
Trauma Antargenerasi, Dimulai Saat Orangtua Punya Trauma
Para peneliti dari studi di atas menemukan bahwa trauma antargenerasi dimulai jika orangtua mengalami trauma secara langsung, atau punya pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan.
Peristiwa merugikan yang dimaksud para peneliti mencakup pelecehan atau penelantaran secara emosional, fisik, atau seksual, yang dapat memengaruhi cara mereka membesarkan anak nantinya.
"Ketika seseorang mengalami trauma, hal itu dapat menentukan seberapa aman mereka merasa ketika berada di dunia," kata psikiater dewasa dan anak sekaligus asisten profesor psikiatri di Boston University School of Medicine, dr Christine Crawford.
Hasil dari Trauma Bisa Keluar Tanpa Disadari
Christine yang menjadi associate medical director untuk National Alliance on Mental Illness (NAMI) mengungkapkan bahwa trauma yang dialami kemudian bisa membuat seseorang tidak sadar melakukan perilaku yang berisiko menimbulkan trauma bagi anak mereka.
"Trauma itu tetap ada dalam diri Anda. Jadi ketika Anda menjadi orang tua, Anda mungkin tidak menyadari bahwa Anda sedang berinteraksi dengan anak-anak Anda dengan cara yang dapat menimbulkan trauma bagi mereka juga," kata Crawford.
Sehingga, menurut saran APA, cara berkomunikasi dan menyadari trauma yang dimiliki akan menjadi poin penting untuk mencegah trauma antargenerasi.
"Pahami meskipun trauma antargenerasi pada dasarnya bisa menjadi siklus, hal ini tidak perlu untuk dilestarikan," pungkas profesor di departemen psikiatri Dalhousie University, Amy Bombay.
Advertisement