Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 menimbulkan krisis di berbagai sektor, khususnya sektor kesehatan. Krisis kesehatan yang melanda pada awal COVID-19 di antaranya, banyak negara kekurangan tenaga kesehatan, pasien membludak, kebutuhan obat dan alat kesehatan terbatas, bahkan pengembangan vaksin pun ‘ngebut’ lantaran belum pernah ada vaksin COVID-19 sebelumnya.
Menteri Kesehatan Laos Bounfeng Phoummalaysith menuturkan, negaranya juga sangat kesulitan saat pandemi COVID-19. Jumlah pasien yang terus berdatangan, tidak seimbang dengan kecukupan tenaga kesehatan di garda depan.
Baca Juga
Beruntung, tenaga kesehatan yang bekerja di negara tetangga pulang ke negara asal guna membantu penanganan krisis kesehatan. Padahal, mereka berstatus sebagai pekerja migran di negara tempatnya bekerja.
Advertisement
“Sedikit pengalaman kami, ketika pandemi, kita bahkan kekurangan tenaga kesehatan. Mereka yang berstatus pekerja migran kembali ke negara asalnya untuk membantu,” tutur Bounfeng ditemui Health Liputan6.com saat konferensi pers “High Level Meeting in the ASEAN Region’ di Hotel St. Regis Jakarta pada Jumat, 25 Agustus 2023.
Tidak Ingin Terulang di Masa Depan
Belajar dari pengalaman COVID-19, Bounfeng tak ingin terulang lagi kejadian kekurangan tenaga kesehatan. Menurutnya, kesiapan kebutuhan tenaga kesehatan jika pandemi lain sewaktu-waktu terjadi sangat diperlukan.
“Agar kita tidak mengalami kesulitan saat pandemi, kita harus memikirkan lebih banyak kolaborasi untuk kebutuhan sumber daya manusia,” ucapnya.
Meminta Tambahan Tenaga Kesehatan
Selain dari tenaga kesehatan yang pulang ke negara masing-masing saat pandemi COVID-19, banyak negara di dunia meminta tambahan tenaga kesehatan dari negara lain. Ini juga dialami Laos yang berbatasan dengan beberapa negara.
Laos secara geografis berbatasan langsung dengan Myanmar, Cina, Vietnam, dan Kamboja. Pasien yang memerlukan perawatan COVID-19 pun ikut berdatangan dari negara-negara perbatasan tersebut.
“Faktanya, ketika pandemi, tiap negara dapat meminta tenaga kesehatan atau ahli untuk datang membantu dan dalam kasus beberapa negara seperti Laos sebagai negara yang berbatasan dengan banyak negara,” terang Bounfeng Phoummalaysith.
“Jadi jika kasus serupa, pasien yang datang mungkin tidak hanya dari kota negara sendiri, melainkan dari negara lain.”
Advertisement
Persiapan Lebih Baik Hadapi Pandemi
Pada kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, kesiapan menghadapi pandemi di masa depan yang telah didiskusikan bersama Menteri Kesehatan se-ASEAN pada 24 - 25 Agustus 2023 di Jakarta.
Pertemuan kali ini tidak membahas tentang layanan kesehatan yang disediakan untuk penyakit normal seperti penyakit jantung, stroke atau kanker.
“Kami tidak membahas tentang itu, tetapi kami membahas jika pandemi berikutnya terjadi dan kami memiliki cukup banyak sumber daya untuk mendukungnya. Contohnya, selama pandemi COVID-19, kami menyadari masalah dokter karena beberapa dokter merasa takut untuk bertemu klien,” jelas Budi Gunadi.
“Jadi, kami terpaksa menggunakan opsi telemedisin. Kami tidak memiliki cukup vaksin yang tersedia untuk memberikan sekitar 400 juta suntikan kepada 228 juta orang di negara ini (Indonesia). Jadi bagaimana di pandemi berikutnya, kita harus memiliki persiapan yang jauh lebih baik jika hal itu terjadi.”
Tracer Sangat Dibutuhkan
Indonesia tatkala awal pandemi COVID-19 juga kesulitan. Pada waktu itu, Indonesia tidak memiliki jumlah pelacak (tracer) untuk menelusuri kontak erat.
“Kami tidak memiliki cukup tracer untuk melacak jika seseorang jatuh sakit dan kita ingin melacak keluarga atau kerabat yang dekat dengan orang tersebut,” lanjut Budi Gunadi.
“Itulah hal-hal yang dalam kehidupan Anda perlu didiskusikan dan di tingkat regional kami mendiskusikannya, upaya apa yang paling efisien untuk mempersiapkannya.”