Liputan6.com, Jakarta Favipiravir yang pernah digunakan dalam pengobatan untuk antivirus COVID-19 kini tak lagi direkomendasikan. Pedoman terbaru pengobatan ini merupakan hasil rekomendasi dari organisasi profesi kesehatan, salah satunya Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi Erlina Burhan mengungkapkan, usulan untuk tidak lagi menggunakan Favipiravir dalam pengobatan COVID-19 sudah diajukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Baca Juga
Petunjuk teknik (juknis) terbaru penggunaan antivirus COVID yang direkomendasikan disebut-sebut akan segera dirilis. Namun, Erlina tidak menyebut secara pasti, kapan juknis dirilis.
Advertisement
“Kita pernah pakai Favipiravir dan sekarang dari pedoman terbaru, dari kami organisasi profesi, sudah kami usulkan juga ke Kemenkes, mungkin juga akan segera launching pedoman atau juknisnya,” ungkap Erlina dalam webinar bertajuk, Sadari, Siaga, Solusi Terhadap Mutasi Virus pada Masa Endemi COVID-19, ditulis Selasa (12/9/2023).
“Bahwa Favipiravir itu tidak lagi kita pakai karena data penelitian menunjukkan, antivirus ini tidak efektif.”
Hambat Virus Tidak Berkembang
Obat antivirus atau antiviral sendiri punya peran penting dalam pengobatan COVID-19. Antivirus bekerja untuk menghambat virus SARS-CoV-2 agar tidak berkembang biak.
“Kalau pedoman lama, antivirus diberikan buat gejala sedang, berat, ringan. Kemudian penelitian berkembang, orang tanpa gejala tapi punya komorbid dan berisiko bergejala berat itu harus diberi obat antivirus,” terang Erlina.
“Karena antivirus bekerja menghambat replikasi dari virus sehingga virus tidak berkembang biak, tidak bertambah banyak.”
Jenis Obat Antivirus COVID-19
Ada tiga jenis obat antivirus yang sekarang digunakan dalam pengobatan COVID-19, yaitu Molnupiravir, Remdesivir, dan kombinasi Nirmatrelvir-Ritonavir atau yang dikenal dengan nama Paxlovid.
“Memang antivirus dibutuhkan sebetulnya. Antivirus beredar sudah lengkap, kita punya Remdesivir, kita ada Molnupiravir, kombinasi Nirmatrelvir-Ritonavir,” Erlina Burhan melanjutkan.
“Bisa tanya ke dokter untuk memeroleh obat bagaimana caranya, apakah diresepkan atau ditebus di rumah sakit atau apotek.”
Orang Obesitas yang Kena COVID
Pemberian obat antivirus di atas juga diberikan kepada orang yang obesitas terpapar COVID-19. Sebab, obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru-paru.
Yang semua itu termasuk komorbid.
“Jadi memang antivirus cukup penting peranannya. Apalagi orang-orang risiko berat. Siapa saja? Ya tadi, lansia, orang dengan sistem imun rendah, orang dengan komorbid, dan juga sering dilupakan adalah orang-orang yang obesitas,” jelas Erlina, yang berpraktik di RSUP Persahabatan Jakarta.
Advertisement
Favipiravir Tidak Menguntungkan
Berdasarkan studi Efficacy and Safety of Favipiravir in Treating COVID-19 Patients: A Meta-Analysis of Randomized Control Trials, Favipiravir tidak memberikan dampak yang menguntungkan dalam mengurangi jumlah pasien COVID yang masuk ICU, kebutuhan akan terapi oksigen, dan waktu untuk menghilangkan virus.
Ada sedikit manfaat telah dilaporkan pada waktu perbaikan klinis, tetapi tidak signifikan secara statistik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk pemberian Favipiravir dengan dosis yang berbeda. Studi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi, apakah pemberian Favipiravir menghasilkan manfaat yang signifikan pada pasien COVID-19.
Di sisi lain, Favipiravir telah terbukti efisien dalam pengobatan virus Ebola dan influenza. Sebuah studi yang dilakukan oleh Wang et al. menemukan bahwa Remdesivir dan Favipiravir efektif dalam mengurangi infeksi SARS-CoV-2 secara in vitro.
Namun, tidak ada pedoman organisasi yang merekomendasikan penggunaan Favipiravir dalam pengobatan COVID-19.
Studi meta-analisis yang dipublikasikan Cureus pada 23 Januari 2023, peneliti Saima Batool dkk menyertakan uji coba acak terkontrol yang dilakukan untuk menentukan kemanjuran dan keamanan Favipiravir untuk COVID-19.
Ada delapan penelitian yang melibatkan 1.448 pasien dimasukkan dalam meta-analisis ini. Dalam hal keamanan, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kedua kelompok dalam kaitannya dengan efek samping dan efek samping yang serius.
Tidak Meningkatkan Hasil Klinis Semua Pasien
Studi lain berjudul, Favipiravir in patients hospitalised with COVID-19 (PIONEER trial): a multicentre, open-label, phase 3, randomised controlled trial of early intervention versus standard care, rentang 5 Mei 2020 dan 26 Mei 2021, dari 503 pasien untuk uji kelayakan, 499 di antaranya secara acak ditugaskan untuk menerima Favipiravir dan perawatan standar atau perawatan standar saja.
Hasil temuan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mereka yang menerima Favipiravir dan perawatan standar, dibandingkan dengan mereka yang menerima perawatan standar saja.
Penelitian yang dipublikasikan di The Lancet pada 14 Desember 2022 menginterpretasikan, Favipiravir tidak meningkatkan hasil klinis pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Namun, pasien yang berusia di bawah 60 tahun mungkin memiliki respons klinis yang menguntungkan.
Rekomendasi Penggunaan Antivirus COVID-19
Buku berjudul, Features, Evaluation, and Treatment of Coronavirus (COVID-19) yang dipublikasikan National Library of Medicine (pembaruan per 18 Agustus 2023) menuliskan rekomendasi penggunaan antivirus COVID-19. Pada pasien yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi penyakit yang parah, mereka merekomendasikan terapi berikut ini:
1. Nirmatrelvir yang diperkuat dengan Ritonavir
Ritonavir-boosted nirmatrelvir adalah kombinasi protease inhibitor oral. Obat ini telah terbukti mengurangi rawat inap dan kematian bila diberikan pada pasien berisiko tinggi yang tidak divaksinasi dan tidak dirawat di rumah sakit. Obat ini harus diberikan dalam waktu 5 hari setelah gejala muncul.
Beberapa interaksi dapat ditangani dengan menghentikan obat untuk sementara, sedangkan lainnya dapat ditangani dengan penyesuaian dosis, tetapi beberapa mungkin memerlukan penggunaan terapi COVID-19 alternatif.
Dosis yang direkomendasikan adalah Nirmatrelvir 300 mg dengan Ritonavir 100 mg secara oral dua kali sehari selama 5 hari.
2. Remdesivir
Obat ini menggunakan durasi terapi yang direkomendasikan dalam keadaan ini adalah 3 hari. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg IV pada hari pertama, diikuti dengan 100 mg IV selama 2 hari.
3. Molnupiravir
Obat ini adalah agen antivirus ribonukleosida yang bersifat mutagenik. Toksisitas pada janin telah dilaporkan pada penelitian pada hewan yang diberikan Molnupiravir. Karena risiko genotoksisitas dengan agen ini, maka tidak dianjurkan pada pasien hamil.
Penggunaan Molnupiravir hanya boleh digunakan jika kedua terapi di atas (Nirmatrelvir-Ritonavir dan Remdesivir) tidak tersedia atau tidak dapat diberikan.
Advertisement