Sukses

Sejumlah Negara di Dunia Perketat BPA di Kemasan Pangan dan Air Minum, Indonesia Menyusul

Banyak negara di dunia semakin memperketat regulasi dan penggunaan senyawa berbahaya Bisfenol A (BPA) untuk campuran dalam kemasan plastik makanan dan minuman.

Liputan6.com, Jakarta Banyak negara di dunia semakin memperketat regulasi dan penggunaan senyawa berbahaya Bisfenol A (BPA) untuk campuran dalam kemasan plastik makanan dan minuman. Nah kabar baiknya, Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pada akhirnya akan mengikuti tren dunia. 

Hal itu diungkapkan oleh perwakilan BPOM dalam sebuah acara diskusi di stasiun televisi swasta di Jakarta, baru-baru ini, dalam wawancara dialog bertema Urgensi Pelabelan BPA pada Galon Polikarbonat Bermerek. 

"Isu BPA ini bukan lagi isu nasional, tapi sudah jadi isu global," kata Anisyah, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM. 

Lebih jauh lagi, Anisyah menyebut tren sejumlah negara telah merevisi regulasi yang sebelumnya dinilai masih kurang ketat. Hal ini dilakukan, sejalan dengan sejumlah temuan riset terbaru tentang BPA, yang menyebut  besarnya risiko bahaya BPA  terhadap kesehatan manusia.

Anisyah mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) pada 2011 misalnya, menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM, tetapi pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM. Kemudian pada 2022 dan 2021, Thailand dan Mercosur (negara-negara Amerika Selatan seperti Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay) juga mengubah batas maksimum migrasi BPA jadi makin rendah hingga sebesar 0,05 PPM. Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahinya, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari.

Bahkan, kata Anisyah, Eropa sudah bertindak lebih jauh. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang dikonsumsi manusia setiap hari.

"Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA," kata Anisyah. 

Semula pada 2015, lanjut Anisyah, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. 

"Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah. Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada," ujarnya.

2 dari 3 halaman

Ini Hasil Temuan BPOM Soal BPA

Terkait regulasi BPA, Anisyah mengatakan bahwa BPOM bisa melakukan penilaian ulang atas kebijakan sebelumnya karena mempertimbangkan dampak kesehatan. Ditambah dengan risiko terjadinya pelepasan BPA selama proses distribusi. Selain itu, juga diperkuat dengan hasil temuan BPOM pada 2021-2022, yang menunjukkan terjadinya peningkatan migrasi BPA pada kemasan galon isi ulang yang cukup signifikan. 

"Ini cenderung mengkhawatirkan. Karena hasil ujinya ini ada di kisaran 0,05 sampai 0,6 PPM, ini cukup tinggi. Ada juga yang sudah melebih ketentuan yang ada di atas 0,6 PPM. Ini menjadi dasar kami melakukan review," katanya. 

Di Indonesia sendiri dalam Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi BPA di dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat belum direvisi, yakni masih di level 0,6 PPM. Di banyak negara lain, batas maksimum migrasi BPA sudah direvisi menjadi lebih rendah, yakni 0,05 PPM dari semula 0,6 PPM.

3 dari 3 halaman

Bukan Cuma Lingkungan, Ini Dampak Buruk BPA Terhadap Kesehatan

Bercermin pada EFSA yang telah mengambil kebijakan sangat ketat, panel ahli mereka menyimpulkan bahwa orang dari semua kelompok usia, termasuk anak-anak kecil, berisiko terhadap kesehatan akibat BPA dari makanan atau minuman. BPA, yang diketahui meniru hormon estrogen dapat bocor dari kemasannya, sehingga berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan.

Setiap hari, jutaan orang terpapar BPA melalui produk konsumen yang lazim digunakan. Zat ini diproduksi dalam jumlah besar dan banyak digunakan untuk memproduksi barang seperti dispenser air, wadah penyimpanan makanan plastik, dan galon/botol air minum plastik yang dapat digunakan berulang-ulang. 

Namun, mirip dengan di Indonesia, produsen BPA di Eropa juga melakukan perlawananan. PlasticsEurope, misalnya, telah mengajukan lima prosedur hukum untuk menantang keputusan Badan Kimia Eropa (ECHA) dalam mengklasifikasikan BPA sebagai SVHC (zat kimia berisiko tinggi) karena sifat pengganggu endokrinnya. Tetapi perlawanan ini selalu kandas di Pengadilan Eropa.

Meski demikian, opini yang muncul ternyata memukul para pengusaha itu sendiri. Itu karena mereka bisa dituding sebagai penghambat regulasi pemerintah, bahkan sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM). 

Dengan kata lain, seperti dikutip dari EDC Free Europe Org, mereka dinilai menghambat regulasi, atau sengaja melakukan pembiaran karena menyebabkan  manusia dan lingkungan terpapar zat pengganggu endokrin berbahaya seperti BPA. 

"Mereka bisa disamakan dengan  melanggar hak asasi manusia inti, seperti hak atas kehidupan dan kesejahteraan, hak setiap anak untuk memiliki awal yang terbaik dalam kehidupan, tumbuh dengan sehat, dan berkembang secara penuh sebagaimana diakui dalam Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 6 dan 24," ujar papar lembaga beranggotakan 70 organisasi yang peduli pada bahaya zat kimia pengganggu endokrin, dan kesehatan konsumen di seluruh Eropa tersebut.

 

(*)