Liputan6.com, Jakarta - Adanya kemudahan akses internet ternyata berpeluang penyalahgunaan informasi kesehatan seperti halnya memunculkan dokter gadungan seperti kasus Susanto. Dalam hal ini, masyarakat biasa yang bukan dokter atau tenaga medis bisa jadi seolah-olah 'dokter asli'.
Bagaimana tidak? Informasi kesehatan sekarang mudah diakses lewat internet. Masyarakat luas juga bisa mengetahui beragam informasi kesehatan, dari penyakit sampai tindak lanjut penanganan medis yang biasa dilakukan dokter maupun tenaga kesehatan.
Baca Juga
Pandangan di atas disampaikan anggota Biro Hukum Pembinaan dan pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dewa Nyoman Sutayana.
Advertisement
"Dari kasus dokter gadungan inisial S ini banyak yang bertanya-tanya, dari mana dia tahu soal informasi kesehatan? Saya pikir, diduga informasi kesehatan yang saat ini sangat banyak dan sangat mudah diakses oleh siapapun dan di manapun, tinggal akses internet," ujar Dewa saat 'Press Conference IDI: Kasus Dokter Gadungan' pada Kamis (14/9/2023).
"Di internet muncul informasi kesehatan. Sebenarnya, tujuannya (informasi kesehatan di internet) sangat baik untuk masyarakat agar lebih waspada ya, terutama untuk penanganan awal sebelum dia periksa ke dokter."
Menganggap Diri Seorang Dokter
Sayangnya, informasi kesehatan yang tujuannya baik bisa disalahgunakan oleh orang-orang.
"Tujuan informasi kesehatan ini kan baik ya, di sisi lain bisa saja informasi disalahgunakan oleh orang-orang. Cukup dengan baca artikel, cukup hanya dengan baca poin-poinnya saja, kemudian menganggap dirinya seorang dokter," kata Dewa.
Manfaatkan Kesempatan Masuk Kerja ke Faskes
Modus dengan menganggap diri sebagai dokter inilah, lanjut Dewa Nyoman Sutayana, semakin nekat membuat seseorang memanfaatkan kesempatan untuk masuk bekerja di fasilitas kesehatan (faskes).
"Kemudian dia bisa memanfaatkan kesempatan untuk masuk dalam satu fasilitas kesehatan," katanya.
Padahal, penerimaan untuk posisi tenaga medis atau dokter saja di faskes berlapis-lapis. Ada proses kredensial yang menilai, apakah dokter yang bersangkutan adalah 'dokter beneran' atau tidak.
"Pada dasarnya, sistem penerimaan dokter di faskes itu berlapis. Artinya, tidak mudah untuk seseorang bisa masuk ke dalam suatu fasilitas kesehatan, kemudian bisa berpraktik dan juga ada proses kredensial," ujar Dewa.
"Maka, dari kasus S ini dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Apalagi disebutkan pada kasus S itu karena kondisi COVID, jadi proses penerimaan dari yang tadinya tatap muka menjadi daring," dia menambahkan.
Advertisement
Alur Penerimaan Dokter di Faskes Cukup Panjang
Dewa Nyoman Sutayana menambahkan bahwa alur penerimaan dokter di faskes yang dinilai cukup panjang, bukan ribet. Pertama, dokter akan menyerahkan CV yang berisikan data diri, ijazah pendidikan, sertifikasi dan lainnya kepada bagian HRD.
"Lalu kan diverifikasi. Di sini, mungkin beberapa kecolongan ya mungkin tidak optimal. Misalnya, yang tadinya wawancara tatap muka, tapi di zaman-zaman sekarang dengan daring begitu. Kemudian masuk proses kredensial oleh Komite Medik," katanya.
"Yang menjadi pertanyaan, kalau di rumah sakit hampir pasti ada Komite Medik. Bagaimana dengan klinik? Belum tentu juga. Soalnya itu mungkin secara struktur organisasi enggak ada, itu mesti diperkuat di bidang lain, mungkin di bidang HRD," dia menambahkan.
Terbit Kewenangan dan Surat Penugasan Klinis
Selanjutnya, diterbitkan rincian kewenangan klinis dan surat penugasan klinis.
"Baru dia praktik. Kalau semua dilakukan secara optimal seharusnya yang namanya dokter gadungan ya tidak lolos. Kredensial itu prinsipnya untuk menjamin bahwa yang berhadapan langsung dengan pasien adalah dokter beneran," kata Dewa.
"Jadi dia itu dokter beneran atau dokter kompeten, misalnya dokter bedah. Artinya, kompetensi dia ya bedah, bukan obgyn. Sebenarnya, makna kredensial seperti itu demi mendapatkan pelayanan medis yang benar-benar kompeten," Dewa menambahkan.
Wajib Verifikasi Bukti Kompetensi
Di dalam ketentuan lebih lanjut, kata Dewa Nyoman Sutayana, rumah sakit wajib melakukan verifikasi kembali berupa keabsahan dan bukti kompetensi seseorang.
"Ini benar-benar ditanyakan, pendidikannya dicek, perizinannya dicek juga ya, kemudian kegiatan dan kualifikasi personal juga dicek," ujarnya.
Menyoroti kasus dokter gadungan Susanto, Dewa turut mempertanyakan, kenapa yang bersangkutan lolos bekerja berkali-kali, padahal semestinya ada proses kredensial?
"Kan ada namanya riwayat disiplin. Apalagi si S ini punya riwayat pemalsuan dokumen, harusnya ini semua kebuka. Kalau memang dia pindah dari tempat praktik lain menuju tempat praktik lainnya, baik kota yang sama maupun beda, sebenarnya ada riwayat pelaksanaan praktik profesi," katanya.
"Misalnya, bisa saja perusahaan meminta kepada perusahaan lain untuk memverifikasi, bener enggak sih ini orangnya. Biasanya membawa surat keterangan bekerja dari rumah sakit atau klinik, tapi diverifikasi lagi ke perusahaannya, ke klinik atau ke rumah sakitnya," pungkasnya.
Advertisement