Liputan6.com, Jakarta - Praktik dokter gadungan seperti kasus Susanto di fasilitas kesehatan (faskes) dapat memberikan dampak fatal bagi pasien. Kondisi pasien yang ditangani dokter gadungan bisa semakin parah, bahkan dapat berujung kematian.
"Apalagi kalau ada dokter gadungan, bisa fatal itu sampai kematian pasien," kata anggota Biro Hukum Pembinaan dan pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dewa Nyoman Sutayana, saat 'Press Conference IDI: Kasus Dokter Gadungan' belum lama ini.
Baca Juga
Dampak praktik dokter gadungan terhadap pasien juga dapat mengakibatkan penyakit pasien mengalami komplikasi. Yang semestinya penyakitnya sembuh malah bertambah parah.
Advertisement
"Dulu pernah ada yang ngaku-ngaku dokter mengatakan di media sosial tanpa data yang jelas soal komplikasi penyakit lebih banyak karena obat-obatan dihentikan, diganti dan sebagainya," Dewa menambahkan.
Dampak Keberadaan Dokter Gadungan
Ada lagi dampak yang perlu dikhawatirkan terhadap keberadaan dokter gadungan, yakni pemberian surat izin sakit.
Pada kasus tertentu, bisa saja dokter gadungan mudah mengeluarkan surat izin sakit kepada pasien dan suratnya dapat diperjualbelikan.
"Kan suka gampang memberikan keterangan izin sakit, bahkan surat izin sakit dijualbelikan. Kalau dokter asli yang beneran punya potensi ya enggak sembarangan kasih surat izin sakti, nah kalau dokter gadungan enggak ada masalah dengan etika semacam itu," ujar Dewa.
Istilah Dokter Gadungan atau Dokteroid
Dewa Nyoman Sutayana memaparkan definisi dokter gadungan. IDI mengistilahkan dokter gadungan ini dengan nama 'dokteroid' yaitu seseorang yang bukan dokter, tapi melakukan praktik kedokteran.
"Seseorang yang dimaksud bisa seorang yang bukan tenaga kesehatan maupun seseorang yang merupakan tenaga kesehatan (perawat, bidan, farmasi), namun bukan tenaga medis (dokter dan dokter gigi), tetapi melakukan praktik kedokteran," katanya.
Praktik kedokteran diartikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam melaksanakan upaya Kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif,dan rehabilitatif.
"Sebenarnya definisi ini saya ambil dari undang-undang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Ada juga laporan yang masuk ke kami dua minggu lalu,"Â kata Dewa.
"Ada yang bukan dokter tapi sarjana kedokteran, belum ngambil profesi kesehatan, cuma gelar ditulis 'dokter' dan dia memberikan seminar kesehatan," Dewa menambahkan.
Advertisement
Tidak Ada Laporan Korban Pasien ke IDI
Terkait dengan kasus Susanto, Ketua Umum PB IDI, Moh. Adib Khumaidi menambahkan bahwa pihaknya tidak menerima laporan apapun soal kerugian atau dampak terhadap pasien yang ditangani si dokter gadungan.
"Kalau kita telusuri kasus sekarang, beliau ini tidak pernah secara langsung berada dekat pasien atau melayani pasien. Kami sampai sekarang pun juga tidak pernah ada laporan karena kan memang bukan dokter dan bukan anggota kami juga,"Â katanya.
"Kalaupun ada laporan penelusurannya ya nanti ke pihak yang berwajib," Adib menambahkan.
PT PHC Pastikan Tidak Ada Korban Pasien
Susanto menjadi dokter di salah satu klinik K3 yang dinaungi PT Pelindo Husada Citra (PHC).
Direktur PT PHC dokter Sunardjo memastikan, tidak ada pekerja atau pasien yang menjadi korban selama Susanto berpraktik sebagai dokter umum gadungan di klinik K3 Cepu milik PHC dan melakukan aktivitas di OHIH Cepu.
"Karena memang yang bersangkutan tidak melakukan pemeriksaan penyakit atau semacamnya. Dia hanya melakukan pemeriksaan basic pada pekerja seperti tensi, cek tekanan darah, dan lainnya jika ada keluhan. Bila ada pemeriksaan lanjutan akan dirujuk ke RS," kata Sunardjo.
"Jadi memang yang bersangkutan lingkup kerjanya kecil dan tidak berhadapan langsung dengan pasien," pungkasnya.