Liputan6.com, Jakarta Hari in, 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mentahl Health Day. Adanya peringatan hari ini untuk meningkatkan isu kesehatan mental ke seluruh dunia serta memobilisasi dukungan untuk aspek kesehatan mental seperti mengutip laman resmi World Health Organization (WHO).
Peringatan World Mental Health Day dimulai pada 1992 yang digagas oleh World Federation for Mental Health. Saat itu, keanggotaan mereka terdapat di 150 negara yang mencoba untuk mengajak masyarakat lebih memperhatikan soal kesehatan mental seperti mengutip laman Forbes.
Baca Juga
Di tahun ini, WHO mengambil tema World Mental Health Day: "mental health is a universal human right”.
Advertisement
"Untuk meningkatkan pengetahuan, meningkatkan kesadaran dan mendorong tindakan yang mendukung dan melindungi kesehatan mental setiap orang sebagai hak asasi manusia universal," begitu tulis WHO di laman resminya soal peringatan tahun ini dikutip Selasa (10/10/2023).
Diharapkan, lewat peringatan tahun ini bisa mendorong bahwa setiap orang, dimanapun berada, berhak mendapatkan standar kesehatan jiwa terbaik yang bisa didapatkan.
Hak kesehatan jiwa yang dimaksud adalah:
- hak untuk dilindungi dari risiko kesehatan mental
- hak atas layanan yang tersedia, dapat diakses, dapat diterima, dan berkualitas baik
- hak atas kebebasan, kemandirian dan inklusi dalam masyarakat.
1 dari 8 Orang Hidup Masalah Kesehatan Mental
WHO juga menyebut bahwa saat ini satu dari delapan orang di seluruh dunia hidup dengan kondisi kesehatan mental. Hal ini dapat berdampak pada kesehatan fisik, kesejahteraan, cara berhubungan dengan orang lain, dan kehidupan.
Fakta miris lainnya adalah permasalahn kesehatan mental juga mempengaruhi semakin banyak remaja dan generasi muda.
Advertisement
Tantangan Kesehatan Jiwa di Indonesia
Dokter spesialis kedokteran jiwa konsultan dari RS Jiwa Dr Soeharto Heerdan, Arundhati Nugrahaning mengungkapkan bahwa di Indonesia masih ditemukan orang dengan permasalahan jiwa dikucilkan dan mendapatkan diskriminasi. Hal tersebut juga terjadi di negara-negara lain.
"Jadi, memang hampir di seluruh belahan dunia kadang-kadang yang mempunyai masalah kesehatan jiwa dikucilkan dan dapat diskriminasi," kata Arun dalam dialog Live Instagram bersama Kementerian Kesehatan RI.
Hal lain yang juga masih jadi tantangan, kata Arun, masih banyak orang yang tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa.
Kapan Harus Cari Bantuan? Sedini Mungkin
Arun mengatakan bahwa tidak perlu menunggu kondisi kesehatan jiwa sampai mengganggu aktivitas baru ke psikolog atau psikiater. Maka, bila merasa sudah alami tekanan maupun distres yaknikeadaan emosional ketika seseorang tidak mampu menghadapi tekanan, bisa ke profesional.
"Pemeriksaan sedini mungkin, jangan menunggu. Contoh, iya masih bisa kerja tapi ngerasa distres. Ya kalau kondisi seperti itu bisa ke psikolog atau psikiater. Dua-duanya bisa melakukan psikiterapi," terang Arun.
Dengan mencari bantauan, bercerita, atau curhat ke psikolog atau psikiater itu bisa membantu mendapatkan perspektif baru.
"Hal ini juga mencegah masuk ke gangguan jiwa," jelas Arun lagi.
Advertisement