Liputan6.com, Jakarta - Bertambahnya kasus cacar monyet atau monkeypox di Jakarta menimbulkan tanya dan kekhawatiran terkait potensi pandemi.
Hingga 21 Oktober 2023, total ada tujuh kasus cacar monyet yang dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).
Baca Juga
“Dengan dilaporkan sedikitnya tujuh kasus cacar monyet di Jakarta, maka banyak yang bertanya apakah mungkin akan memicu pandemi kembali. Setidaknya ada tiga penjelasan tentang hal ini,” kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Senin (23/10/2023).
Advertisement
Ketiga hal yang dapat menjelaskan potensi pandemi cacar monyet menurut Tjandra yakni:
Cacar Monyet Bukan Penyakit Baru
Menurut Tjandra, cacar monyet bukanlah penyakit baru. Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tanggal 20 Oktober 2023 menunjukkan di dunia sudah ada 91.123 kasus cacar monyet. Kasus ini menyebar di 115 negara di dunia.
“Tentu kita tidak tahu apakah data dari Jakarta sudah masuk dalam perhitungan ini. Dari lebih 90 ribu kasus itu, maka WHO mencatat ada 157 kematian. Tegasnya, kasus monkeypox masih selalu ada di dunia, dan tampaknya juga di negara kita,” jelas Tjandra.
Ketahui Tahapan Penyakit Sebelum Jadi Pandemi
Hal kedua yang bisa menjelaskan potensi pandemi menurut Tjandra adalah perlunya pengetahuan tentang tahap-tahap yang akan dilalui suatu penyakit sebelum menjadi pandemi dunia. Tahapan tersebut yakni:
Tahap Pertama
Kalau ada penyakit yang berpotensi menular antara negara, maka WHO akan memasukkannya ke dalam Disease Outbreak News (DONs).
Misalnya, polio di Aceh beberapa bulan yang lalu sudah masuk dalam WHO DONs. Sejak Agustus 2023 sampai hari ini, ada berbagai penyakit yang perlu diwaspadai dan oleh WHO dimasukkan dalam DONs. Dan tidak ada penyakit cacar monyet di dalamnya, walaupun ada peningkatan laporan kasus di Jakarta.
“Jadi tegasnya, pada situasi sekarang maka cacar monyet tidak masuk WHO DONs. Artinya, secara global belum masuk penyakit yang berpotensi menyebar luas antarnegara."
Tahap Kedua
Sesudah masuk DONs dan terus berkembang, maka WHO akan menyatakannya sebagai kedaruratan kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Cacar monyet pernah dinyatakan sebagai PHEIC pada 23 Juli 2022. Setelah hampir satu tahun penanganan intensif di dunia, maka situasi kesehatan masyarakatnya terkendali dengan baik. Sehingga pada 11 Mei 2023 dinyatakan bahwa cacar monyet bukan lagi PHEIC.
“Tegasnya, kedaruratan kesehatan global cacar monyet sudah dinyatakan berakhir.”
Advertisement
Tetap Perlu Waspada
Poin ketiga soal potensi pandemi cacar monyet yakni, meski status kedaruratan kesehatan globalnya sudah dicabut, Tjandra mengimbau masyarakat untuk tetap waspada.
“Walaupun bukan lagi berstatus kedaruratan kesehatan global, tentu kita tetap perlu waspada terhadap cacar monyet. Sama seperti kita waspada terhadap berbagai penyakit menular lainnya.”
Dia pun menjelaskan bahwa cacar monyet adalah penyakit akibat virus dari genus Orthopoxvirus, yang terdiri dari 2 galur (clade) I dan II, dan yang sekarang banyak beredar di dunia adalah Clade IIb.
“Akan bagus kalau pada kasus di Jakarta juga dijelaskan apa galur penyebabnya,” kata Tjandra.
Gejala dan Penularan Cacar Monyet
Lebih lanjut, Tjandra menjelaskan bahwa gejala infeksi cacar monyet adalah kelainan di kulit dan mukosa yang dapat terjadi dua hingga empat minggu. Diikuti dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, badan lemah dan pembesaran kelenjar getah bening.
Sementara, penularan terjadi akibat kontak langsung, baik dari orang yang sakit maupun dari bahan yang terkontaminasi, bisa juga dari binatang karena ini adalah penyakit zoonosis.
“Akan baik kalau pada ketujuh kasus di Jakarta disampaikan juga pola penularannya sehingga mereka bisa terkena penyakit ini. Dan bagaimana penyelidikan epidemiologi (PE) selanjutnya.”
Diagnosis dan Vaksinasi Cacar Monyet
Jika sudah tertular dan ada gejala, maka diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan PCR pada kelainan di kulit pasien. Pasien biasanya ditangani secara suportif, walaupun di beberapa negara memang ada yang menggunakan obat tertentu.
“Dan baik kalau kita diinformasikan jenis obat apa yang diberikan pada pasien di Jakarta sekarang ini.”
Sedangkan untuk mencegahnya, maka perlu dilakukan vaksinasi.
“Vaksinasi dapat membantu mencegah terjadinya penularan, khususnya pada mereka yang termasuk kelompok risiko tinggi,” pungkas Tjandra.