Sukses

Kesehatan Mental Generasi Z Lebih Rapuh Dibanding Milenial dan Boomers

Survei pada 2023 menunjukkan kesehatan mental generasi Z lebih rentan atau rapuh dibandingkan dengan generasi milenial dan boomers.

Liputan6.com, Jakarta Sekitar 34,9 persen atau setara dengan 15.5 juta remaja Indonesia menghadapi setidaknya satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Hal ini diungkap dalam Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja (I-NAMHS) pada 2022.

Angka ini memperlihatkan bahwa kesehatan mental generasi Z (kelahiran 1997-2012) lebih rentan atau rapuh dibandingkan dengan generasi milenial (kelahiran 1981-1996) dan boomers (kelahiran 1946-1964).

Survei juga menunjukkan, 5,5 persen atau setara dengan 2.45 juta remaja, dilaporkan memiliki gangguan mental dalam periode yang sama.

Sedangkan, selama pandemi COVID-19, 4.6 persen remaja melaporkan peningkatan gejala cemas, depresi, kesepian, atau kesulitan berkonsentrasi.

Meskipun demikian, hanya 2.0 persen remaja yang menggunakan layanan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir, dengan 66.5 persen dari mereka hanya menggunakan layanan tersebut sekali.

1 dari 3 Remaja Indonesia Mengalami Gangguan Kesehatan Mental

Senada dengan hasil survei itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan, 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental dalam 1 tahun terakhir. Dan hanya 2 persen yang memanfaatkan layanan kesehatan mental dalam setahun terakhir.

“Data yang menunjukkan bahwa ada 1 dari 3 remaja mengalami gangguan kesehatan mental ini sangat memprihatinkan. Ini persoalan sangat serius. Dukungan kesehatan mental dan psikososial, terutama dalam menciptakan kondisi perkembangan dan kesejahteraan anak yang optimal sangat dibutuhkan,” kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Rohika Kurniadi Sari, mengutip keterangan resmi, Sabtu (18/11/2023).

2 dari 4 halaman

Susun Program Dukungan Kesehatan Mental Anak

Rohika menambahkan, KemenPPPA telah menyusun dukungan kesehatan mental untuk anak dan keluarga bersama UNICEF.

“Program ini diharapkan dapat menjadi pusat pembelajaran keluarga untuk mencegah dan menangani masalah kesehatan mental,” tambahnya.

Lebih lanjut Rohika menyampaikan, program ini membutuhkan kolaborasi bersama termasuk dengan guru dan forum layanan untuk menyebarluaskan informasi.

Menumbuhkan perkembangan anak sesuai dengan UUD 1945, yaitu tumbuh tidak hanya fisik saja, tetapi juga spiritualnya, mental, dan moralnya menurut Rohika adalah tanggung jawab bersama.

3 dari 4 halaman

Peran Penting Guru dalam Jaga Kesehatan Mental Anak

Dalam keterangan yang sama, Asisten Deputi Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah dari Kemenko PMK, Jazziray Hartoyo menyoroti peran penting guru dalam memberikan dukungan kesehatan mental.

"Sebelum guru memberikan dukungan kesehatan mental dan psikososial pada anak, maka harus diperhatikan kesehatan mental guru itu sendiri. Kriteria kesehatan mental guru perlu mendapat perhatian sebelum mengajar pertama kali di sekolah, bahkan saat menimba ilmu di universitas," ucap Jazziray.

Jazziray juga mengungkapkan bahwa pengasuh utama anak selain orangtua adalah petugas sekolah, termasuk guru dan petugas sekolah lainnya. Peran pengasuhan dari pihak sekolah memiliki porsi 38.2 persen.

“Kesehatan mental pada anak dan remaja sangat ditentukan dengan apa yang mereka terima di awal-awal kehidupan (balita) sampai remaja,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Masalah Kesehatan Mental Beri Dampak Signifikan pada Anak

Dalam konteks pendidikan, Jazziray menyampaikan masalah kesehatan mental dapat memberikan dampak signifikan. Termasuk memengaruhi konsentrasi, ingatan, dan motivasi remaja, membuatnya sulit untuk berhasil di sekolah atau perguruan tinggi.

Begitu juga dengan dunia pekerjaan, di mana masalah kesehatan mental dapat mempersulit pencarian atau mempertahankan pekerjaan.

Menyikapi permasalahan ini, dirancang Rencana Aksi Nasional PAUD-HI dan Permenko PMK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja. Ini mencakup:

  • Strategi untuk memperkuat komitmen lintas sektor
  • Memperluas akses pelayanan kesehatan berkualitas
  • Menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak dan remaja
  • Meningkatkan kualitas akses pendidikan dan keterampilan hidup.