Sukses

Ramai RPP UU Kesehatan Larang Iklan Rokok di Media, Begini Respons Pemerhati

RPP UU Kesehatan dikatakan melarang iklan rokok atau produk tembakau di media online dan penyiaran.

Liputan6.com, Jakarta Publik tengah ramai menyoroti aturan larangan iklan rokok atau produk tembakau di media online dan penyiaran yang termaktub dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Kesehatan atau RPP UU Kesehatan.

Pada regulasi khususnya terkait pengamanan zat adiktif yang sedang digodok Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI ini, pihak-pihak yang berkecimpung dalam periklanan rokok merasa dirugikan dengan aturan tersebut.

Pemerhati perlindungan anak, Lisda Sundari dari Yayasan Lentera Anak justru heran dengan kabar soal larangan iklan rokok atau produk tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang (UU) Kesehatan. Sebab, regulasi ini pun masih berupa rancangan, belum disahkan.

"Disebutkan larangan? Enggak kok, cuma pengetatan saja. Yang iklan rokok di televisi, misalnya, jamnya itu diketatkan dari jam 23.00 sampai 03.00, tadinya kan jam 21.30 sampai 05.00. Nah, tapi kan RPP ini belum disahkan, sehingga seolah-olah ini sudah terjadi dan terdampak. Ini salah satu cara untuk melemahkan aturan-aturan pengendalian tembakau," jelas Lisda kepada Health Liputan6.com saat ditemui di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (22/11/2023).

"Misalnya juga soal, oh iklan rokok dilarang di media sosial, ya belum ada aturannya. Jadi kalau bicara dampaknya ya belum ada. Belum ada bukti itu berdampak."

Indonesia Belum Ada Pelarangan Iklan Rokok

Apabila dibandingkan negara lain, lanjut Lisda, sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara di ASEAN yang belum ada pelarangan iklan rokok.

"Kita kalah sama Malaysia, Thailand, Singapura yang sudah melakukan iklan pelarangan rokok secara total. Indonesia tuh belum. Kalau tadi seolah-olah terjadi 'iklan rokok di media dilarang' ya hoaks karena RPP-nya saja belum disahkan," katanya.

2 dari 4 halaman

RPP UU Kesehatan untuk Cegah Anak Terpapar Zat Adiktif

Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi sependapat dengan Lisda Sundari. Bahwa tidak ada yang namanya iklan rokok atau produk tembakau yang dilarang.

Substansi RPP UU Kesehatan terkait zat adiktif bertujuan mencegah anak-anak terpapar zat tersebut.

"Benar kata Bu Lisda itu hoaks (iklan rokok dilarang). Tidak ada yang namanya iklan dilarang. Yang dilakukan di RPP ini adalah upaya mencegah anak-anak kita terpapar lebih besar zat adiktif di media yang lebih mudah diakses, yaitu media luar ruang," jelas Nina.

"Ya masa sih kita biarkan iklan di internet, tentunya supaya anak-anak tidak lebih jauh terpapar. Jadi temen-temen asosiasi periklanan itu masih bisa bebas menerima klien, membuat iklan di media pers juga."

3 dari 4 halaman

Tolak RPP UU Kesehatan Terkait Pengamanan Zat Adiktif

Salah satu bagian RPP UU Kesehatan yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU 17/2023 tentang Kesehatan.

Dalam dokumen draf RPP yang beredar di publik, produk tembakau diatur dalam beberapa pasal, antara lain mengatur larangan iklan, display produk dan larangan penjualan eceran/batang.

Merespon hal itu, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) sebagai wadah konfederasi industri hasil tembakau jenis produk khas kretek, yang beranggotakan pabrikan golongan I (besar), golongan II (menengah), dan golongan III (kecil), menolak draf RPP terkait pengamanan zat adiktif produk tembakau yang saat ini beredar.

"Pengaturan tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP cenderung restriktif. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pasal pelarangan, bukan pengendalian," tegas Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan dalam keterangan tertulis di Jakarta Rabu (20/09/2023).

Henry Najoan mengingatkan pemerintah bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tercatat enam kali memutuskan produk tembakau adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakan cukai.

Enam putusan yang menyebutkan bahwa tembakau adalah produk legal antara lain: Putusan MK No. 54/PUU-VI/2008, Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 19/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 57/PUU-IX/201, Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, dan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017.

"Karena produk legal, seharusnya pengaturannya pun disesuaikan dengan produk legal lainnya," ujar Henry Najoan.

4 dari 4 halaman

Mematikan Ekosistem Pertembakauan

Henry Najoan mengkhawatirkan apabila kebijakan yang terlalu ketat terhadap kelangsungan IHT akan dapat mematikan ekosistem pertembakauan.

“Ada 6 juta orang yang bergantung pada Industri Hasil Tembakau baik on farm maupun off farm mau dikemanakan mereka semua?” katanya.

Lebih lanjut, Henry bilang, ekosistem pertembakauan ini telah terbentuk lama, dari hulu hingga hilir serta memiliki multiplier effect yang panjang.

"IHT juga menjadi tempat bergantung bagi jutaan masyarakat Indonesia mulai petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik, peritel, pekerja periklanan, pekerja logistik dan transportasi, hingga usaha-usaha pendukung lainnya yang tumbuh dari bisnis pertembakauan," katanya.

"Kalau ekosistem tembakau dimatikan, apakah sudah siap dengan konsekuensinya?”

Video Terkini