Liputan6.com, Jakarta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan diseminasi hasil pemutakhiran data keluarga tahun 2023 atau PK 2023.
Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, pendataan keluarga 2023 telah diselenggarakan pada tanggal 1 sampai 31 Juli 2023. Berhasil memutakhirkan 16.000.208 data keluarga serta memuat 2.040.379 data keluarga baru. Sehingga total keluarga yang berhasil didata sejak 2021 menjadi 72.516.889.
Baca Juga
“Data itu bukan segala-galanya, tetapi tanpa data kita tidak bisa apa-apa,” ucap Hasto dalam acara “Rilis Hasil Pemutakhiran Pendataan Keluarga dan Verifikasi, Validasi Data Keluarga Berisiko Stunting Tahun 2023” di Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023).
Advertisement
Dalam sambutannya, Hasto berharap bahwa data yang ada dapat menjadi data yang hidup dan dihidupkan.
“Kami berharap data itu menjadi hidup, karena data PK ini kalau tidak hidup, maka data tidak ada artinya,” harap Hasto.
“Data yang hidup itu adalah data yang bisa menakutkan, bisa menggembirakan, mengkhawatirkan, dan mencemaskan. Kalau data tidak pernah membuat Anda gembira, tidak pernah membuat Anda itu cemas, tidak pernah membuat Anda itu khawatir, berarti data itu tidak hidup,” tambahnya.
Hasto memberi contoh data tak hidup, yakni data terkait jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Saya kalau ditanya, contohnya apa data yang tidak hidup? Ini jujur saja ya pengalaman waktu saya jadi Bupati, jujur ada data terkait dengan jumlah orang yang ODGJ.”
Alasan Data ODGJ Disebut Data Tak Hidup
Hasto pun memaparkan alasan mengapa data terkait ODGJ disebut sebagai data tak hidup.
Menurutnya, data ODGJ ada dan tersedia, tapi data ini tidak membuat bupati atau walikota khawatir. Dalam sebuah diskusi, ada pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan pada para bupati dan walikota yakni:
- Khawatir enggak dengan data ODGJ?
- Mau menambah bed atau rumah sakit jiwa enggak?
- Apa mengusulkan ada rumah sakit jiwa enggak?
- Penduduk yang ODGJ sekarang banyak enggak?
Pertanyaan-pertanyaan itu seolah tak pernah terlintas dan terpikirkan oleh beberapa bupati dan walikota. Padahal, gangguan jiwa di daerah bisa sampai 7 per 1.000 kasus.
“Penduduknya kalau 100 ribu, sudah 700 yang ngomong sendiri (ODGJ). Kalau 500 ribu sudah berapa? 700 kali 5 ya 3.500 yang penduduknya ngomong sendiri.”
Advertisement
Tidak Ada yang Menghidupkan Datanya
Meski jumlah ODGJ tinggi, lanjut Hasto, tapi bupati, wali kota, gubernur tidak pernah terlintas soal masalah tersebut.
“Oh iya, karena datanya tidak hidup. Tidak menakutkan bupati, kepala daerah, wali kota tidak takut dengan data itu.”
“Tidak ada yang menghidup-hidupkan data itu. Padahal hari ini ODGJ juga 7 per 1.000 naik, kemudian Mental Emotional Disorder hari ini juga naik dari angka yang semulanya 6,1 per 1.000, di kalangan remaja sekarang menjadi 9,8. Itu contoh saja, datanya tidak hidup,” jelas Hasto.
Stunting adalah Data Hidup
Lain dengan data ODGJ, stunting dinilai sebagai data hidup oleh Hasto. Pasalnya, ketika kasus stunting naik, maka ini menjadi hal yang menakutkan bagi semua orang.
“Jadi, rupanya data itu harus dihidupkan. Itulah bedanya data hidup dan data mati.”
Hasto pun mengimbau hadirin untuk tidak hanya melihat masalah yang tampak saja, tapi juga yang tak kasat mata.
“Yang intangible dan invisible harus dilihat secara adil. Itu harapan saya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, sebetulnya stunting itu baru bangunlah badannya, otaknya, badannya tinggi, rumahnya jadi bagus. Semua baru fisik, tapi yang non-fisik belum dipikirkan.”
Hal non fisik yang dimaksud Hasto dalam penanganan stunting salah satunya kualitas keluarga termasuk pengetahuan dan informasi yang diterima keluarga soal kesehatan anak.
“Oleh karena itu, saya titip nanti di keluarga, PK ini juga harus bisa merekam data-data yang sifatnya menjadi gangguan dalam hal kualitas keluarga, termasuk kita harus menerima informasi, gangguan-gangguan yang sifatnya itu intangible,” pungkas Hasto.
Advertisement