Liputan6.com, Jakarta - Kasus perundungan atau bullying kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Yang sedang ramai jadi buah bibir adalah kasus bullying yang menimpa bocah SD di Sukabumi.
Akibat peristiwa ini, tulang lengan atas korban patah dan posisinya bergeser. Ini adalah cedera serius, patah tulang terjadi di dalam kulit sehingga mengoyak daging lengan atas hingga korban berinisial L harus menjalani operasi.
Baca Juga
Perundungan diduga dilakukan oleh dua teman korban yang mengenyam pendidikan di sekolah yang sama.
Advertisement
Menanggapi kasus ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) meminta setiap orangtua, guru, dan juga masyarakat untuk waspada. Masyarakat diimbau untuk sadar akan segala bentuk tindak kekerasan fisik dalam bentuk bullying atau perundungan di sekolah.
“Kejadian bullying yang dialami pelajar SD di Kota Sukabumi, Jawa Barat membuktikan bullying masih terjadi di institusi pendidikan dasar,” kata Deputi Bidang Pelindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
Dia mengaku prihatin dengan kejadian yang menimpa korban sehingga membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit dan menjalani operasi.
“Tak bisa dibayangkan bagaimana trauma dan ketakutan yang dialami korban selama ini. Orangtua adalah pihak pertama yang harus tegas menghentikan perilaku bullying anaknya dan para guru kami mohon dapat lebih peka dengan kondisi yang dialami murid mereka. Perilaku mendiamkan bullying justru akan melanggengkan aksi tersebut,” ujar Nahar dalam keterangan resmi dikutip Sabtu, (16/12/2023).
Dugaan Keterlibatan Orangtua Pelaku
Nahar mengatakan, kasus dugaan perundungan yang terjadi di SD swasta di Kota Sukabumi berbuntut panjang. Kasus memanas setelah pihak keluarga korban melaporkan ke Polres Kota Sukabumi atas kejadian tersebut pada bulan Oktober.
Kini kasus perundungan yang dialami NCL (10) alias L berlanjut diproses hukum. Setelah melaporkan soal dugaan pelaku anak, kini keluarga korban melayangkan laporan tambahan terhadap dugaan keterlibatan orangtua pelaku anak. Hingga menyeret pihak sekolah yang diduga menutupi kejadian tersebut.
Kepolisian menyatakan kasus ini telah masuk tahap penyidikan. Pengacara keluarga korban, Mellisa Anggraini mengatakan, pihaknya membuat laporan baru terkait dugaan keterlibatan orangtua pelaku anak dan pihak sekolah dalam kasus perundungan tersebut. Setelah adanya pengakuan dari korban yang tak hanya mengalami kekerasan fisik oleh terduga pelaku anak, namun juga orangtuanya.
“Anak korban mengalami kekerasan fisik dan psikis bukan hanya dari perundungnya yaitu pelaku anak namun juga kami duga kami sinyalir ada pelaku dewasa yang melakukan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak korban yaitu orang tua pelaku yang kemarin kami sudah laporkan,” kata Mellisa kepada awak media saat ditemui di Polres Sukabumi Kota, Senin (11/12/2023) mengutip Regional Liputan6.com.
Advertisement
Pihak Sekolah Diduga Abai dan Lakukan Intimidasi
Pihaknya juga melaporkan pihak sekolah yang diduga abai dan melakukan tindakan intimidasi kepada korban atas kasus perundungan yang telah terjadi dalam setahun terakhir. Yakni sejak Februari 2022 lalu di mana korban duduk di kelas 3 hingga naik kelas 4 SD. Dalam kurun waktu tersebut, korban disebut mengalami kekerasan fisik maupun psikis. Hingga memutuskan membuat laporan polisi pada 16 Oktober 2023.
Mellisa menyebut, laporan terkait keterlibatan orang dewasa ini merujuk pasal 76 C Undang-undang tentang perlindungan anak terkait siapapun yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, ataupun turut melakukan kekerasan terhadap anak.
“Sepanjang itu dia mengalami perundungan dan kami menduga ada keterlibatan pihak sekolah, keterlibatan pihak luar orangtua pelaku yang kami tadi sampaikan terlibat sehingga peristiwa perundungan itu dengan leluasa terjadi terus-menerus,” ungkapnya.
Sempat Mediasi
Akibat tindakan tersebut, korban alami patah tulang di bagian lengan kanan. Upaya mediasi antara kedua pihak, terduga pelaku dan korban sempat dilakukan, tapi tidak mendapat titik temu.
Sebab itu, pihak kepolisian menyatakan mengambil langkah konfrontasi atau mempertemukan terduga pelaku dengan korban dalam kasus ini. Setelah pemeriksaan terhadap 10 orang saksi, disebut memberikan keterangan berubah-ubah.
Pengacara menyebut, langkah konfrontasi yang dilakukan kepolisian itu dinilai kurang tepat. Karena akan mengulang traumatik terhadap korban anak. Meskipun dalam menangani kasus anak ini, pihak kepolisian berpedoman pada Undang-undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Anak.
“Tadi saya ketemu anak korban dia juga belum bisa banyak bicara, sehingga konfrontir dalam perkara ini rasanya tidak tepat tadi kami sudah sampaikan bisa dihadirkan ahli psikologis,” ujarnya.
Hingga kini, keluarga korban pun belum menerima komunikasi dari pihak sekolah terkait penjelasan kasus perundungan tersebut. Pengacara menyebut, kendati demikian pihaknya akan terus melanjutkan proses hukum guna mendapat keadilan untuk korban.
“Kalau ada dari pihak sekolah ingin membuka (komunikasi) kami sangat bersyukur untuk mereka jujur apa adanya tidak menutup-nutupi. Kalau mereka masih tetap bersikukuh untuk tidak mau menyampaikan ke publik, apa yang terjadi sebenarnya maka seluruh proses hukum ini akan terus berjalan,” ucapnya.
Advertisement