Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Indonesia segera menyambut pesta demokrasi dalam Pemilu 2024. Di antara masyarakat, ada kelompok pemilih pemula, yakni anak-anak muda yang akan terlibat.
Terkait hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengajak seluruh anak Indonesia untuk menjadi pelopor pemilih pemula yang cerdas. Serta turut andil dalam mencegah praktik penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik praktis.
Baca Juga
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak, Rr. Endah Sri Rejeki mengatakan, pelibatan anak dalam kegiatan politik praktis selama ini mengandung risiko dan cenderung eksploitatif sehingga perlu dicegah.
Advertisement
Ada berbagai bentuk pelibatan anak dalam praktik politik praktis, contohnya:
- Menggunakan anak-anak sebagai massa kampanye politik.
- Menjadikan anak sebagai bintang atau juru kampanye politik.
- Memanipulasi data anak yang belum memiliki hak pilih agar dapat mengikuti pemilihan.
“Ini merupakan segelintir contoh nyata pelibatan anak di dalam kegiatan politik yang bersifat eksploitatif,” kata Endah mengutip keterangan resmi, Senin (25/12/20230.
Namun yang menjadi catatan penting, lanjut Endah, penyalahgunaan anak dalam kegiatan kampanye partai politik sedikit-banyak telah menciptakan stigma politik pada anak. Bahwa politik itu kotor, rumit, penuh kecurangan dan bukan untuk anak.
“Akibatnya, stigma tersebut berhasil menciptakan ‘jarak’ antara anak dan politik sehingga anak memiliki keengganan membahas politik. Padahal sebenarnya, anak memiliki hak dalam politik,” papar Endah.
Literasi Politik pada Anak Masih Minim
Endah menyampaikan, banyak anak memiliki informasi dan pengetahuan yang kurang memadai terkait politik dan demokrasi. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang bersikap apatis terhadap politik.
Minimnya literasi politik dan informasi yang kurang tepat menyebabkan anak-anak cenderung enggan berdiskusi atau membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Survei yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggambarkan pandangan generasi muda yang cenderung pesimis terhadap demokratisasi Indonesia ke depan. Bahkan, sebagian besar menganggap partai politik atau politisi tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.
“Minimnya informasi terkait politik dan Pemilu yang dimiliki anak tersebut harus menjadi perhatian kita bersama, karena ketika anak menginjak usia 17 tahun, mereka sudah memiliki hak pilih dan tentu diharapkan turut berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia.”
Advertisement
Siapkan Anak Jadi Pemilih Pemula
Oleh karena itu, imbuh Endah, semua pihak harus mempersiapkan anak-anak menjadi pemilih pemula.
“Kesadaran dan pendidikan politik yang baik pada anak harus dibangun karena mereka berperan dalam menentukan masa depan bangsa,” tutur Endah.
Menurut Endah, kematangan politik dan berdemokrasi sebuah bangsa memerlukan proses pembelajaran yang sangat panjang dan harus dimulai sejak dini pada masa anak. Tentunya proses pembelajaran tersebut perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan tingkat kecerdasan anak.
Pelajaran Politik di Sekolah
Di Indonesia, anak-anak sebenarnya sudah mulai belajar tentang politik dan demokrasi. Di sekolah, anak belajar proses politik dan demokrasi melalui praktik pemilihan ketua kelas, pemilihan ketua osis, dan sebagainya.
Di luar proses belajar mengajar formal, terdapat organisasi anak. Seperti Forum Anak yang merupakan wadah bagi anak untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, dan gagasan kepada Pemerintah, serta melakukan aksi nyata, dan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.
“Melalui Forum Anak, Pemerintah Indonesia melalui Kemen PPPA mendorong anak-anak Indonesia agar mengambil peran menyuarakan hak-haknya lewat berbagai kegiatan-kegiatan kepeloporan sebagai 2P (Pelopor dan Pelapor), serta diikutsertakan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di berbagai tingkatan pemerintahan,” tutup Endah.
Advertisement