Sukses

Catatan Akhir Tahun: Amukan Varian COVID JN.1 di Penghujung 2023

Kenaikan kasus COVID Indonesia karena varian JN.1 merebak jelang akhir tahun 2023.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 di Indonesia kembali meningkat di penghujung akhir tahun 2023, menyusul terjadinya kenaikan kasus varian JN.1 di negara tetangga, Singapura. Bahkan di belahan negara lain, yang memasuki musim dingin juga terjadi kenaikan kasus COVID.

Situasi peningkatan kasus COVID Indonesia menyorot perhatian publik lantaran penyebaran virus SARS-CoV-2 sudah masuk kategori endemi. Tak sedikit warganet yang berkomentar’ ‘sudah biasa kalau mau libur panjang’ atau ‘oh, mau sekalian ngabisin stok vaksin COVID-19.’

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menerangkan, kasus COVID-19 yang meningkat karena adanya varian baru, salah satunya yang mendominasi adalah JN.1. Dalam hal ini, sudah ada bukti ilmiah bahwa kenaikan kasus COVID bukan dipengaruhi mobilitas libur panjang. 

Pada temuan kasus pasien COVID di Indonesia, tertular varian JN.1 yang masuk dari luar negeri.

“Sekitar bulan November masuknya (varian JN.1) dari luar. Saya enggak yakin, apakah dia kenanya di Singapura, atau dia transit di Singapura, bisa juga seperti itu ya,” terang Budi Gunadi saat ditemui Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Jakarta pada Jumat, 22 Desember 2023.

“Tapi kita lihatnya masuknya dari luar,  dan otomatis negara-negara yang jadi negara transit di Singapura pasti paling banyak.”

Kasus Varian JN.1 di Singapura Mulai Turun

Di Singapura sendiri, kasus varian JN.1 sudah mulai menurun. Ini melihat dari rentang penyebaran varian COVID tersebut yang sudah terjadi di sana sekitar September-Oktober 2023, sedangkan varian ini baru masuk Indonesia pada November kemarin.

“Tapi saya lihat di Singapura sendiri. Jadi, sekarang kasusnya sudah mulai menurun. Ya itu biasanya deket-deket, kalau mereka kenanya mungkin bulan Oktober atau September, kita kenanya bulan November,” lanjut Budi Gunadi Sadikin.

“Mereka udah turun, harusnya kita juga bisa turun. Dan yang penting buat saya sih, rumah sakitnya aja. Rumah sakitnya masih sedikit sekali yang mengisi ya (pasien COVID yang dirawat di rumah sakit sedikit)."

2 dari 4 halaman

Prediksi Puncak Varian JN.1 pada Januari 2024

Budi Gunadi Sadikin memprediksi puncak kasus COVID varian JN.1 akan terjadi pada Januari 2024. Prediksi ini dilihat dari jumlah kenaikan kasus varian JN.1 yang terus naik menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.

"Yang varian JN.1 memang (jumlah kasusnya) 43 persen dari total sampel yang kita ambil di minggu ke-2 Desember ini. Kita ada 77 sampel di minggu ke-2 ini yang masuk, dari 77 sampel itu 43 persennya varian JN.1," katanya.

Dari sekuens yang dicatat oleh Kemenkes, temuan varian JN.1 terbilang pesat. 

"Nah, kalau diprediksi puncaknya, kita lihat karena 43 persen dan itu naik dari 19 persen di minggu pertama Desember 2023. Kenaikannya dia pesat, artinya dia mendominasi varian yang ada. Kalau pengalaman kita di sebelum-sebelumnya, begitu dia sampai 80 persem, di atas 80 persen itu peak-nya (puncak) tercapai," jelas Menkes Budi Gunadi.

"Sekarang kita lihat 19 persen ke 43 persen itu kan naiknya hampir 20 persen lebih ya. Kalau kita hitung 20 persen lagi minggu depan, gitu 60 kasus, (naik) 20 persen lagi minggu depannya lagi udah 80 kasus. Harusnya di Januari itu peak-nya sudah dicapai."

Selain temuan varian JN.1, hasil varian COVID yang masuk ke laporan Kemenkes dari 77 sampel sepanjang minggu ke-2 Desember 2023 adalah varian XBB.1.16 dan XBB.1.9.1.

Puncak Varian JN.1 Diprediksi Turun Februari 2024

Apabila prediksi puncak kasus COVID varian JN.1 pada Januari 2024, maka penurunan puncak diperkirakan pada Februari 2024.

"Nah, peak-nya berapa lama? Peak-nya paling 2 minggu sampai 4 minggu maksimal, kemudian terjadi penurunan," terang Menkes Budi Gunadi Sadikin.

"Jadi, mudah-mudahan nanti kita lihat, kalau misalnya peak-nya terjadi di Januari, itu harusnya sih Februari Insya Allah, ini sudah turun kembali."

Budi Gunadi menambahkan, varian JN.1 relatif severity-nya dan hospitalisasinya rendah.

"Sampai sekarang kan kita lihat rumah sakit-rumah sakit kita sih masih relatif kosong (untuk pasien COVID). Bed Occupancy Ratio (BOR) masih relatif kosong. Memang ada beberapa kematian, sekitar berapa ini  27 orang," tambahnya.

"Tapi 27 orang ini ada komorbidnya. Jadi dia masuk, sakit, biasanya sakit jantung atau dia stroke. Begitu dites, dia positif COVID. Jadi, enggak semuanya meninggalnya gara-gara positif COVID, tapi gara-gara penyakit lainnya."

3 dari 4 halaman

Prevalensi Kasus Varian JN.1 di Dunia Naik Seminggu Terakhir

Menyikapi varian JN.1 yang menyebabkan kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama angkat bicara. Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memang terjadi kenaikan kasus varian JN.1 di banyak negara.

“Sudah diketahui bersama bahwa sejak 18 Desember 2023, WHO sudah menetapkan JN.1 yang sebenarnya sub-lineage dari Omicron BA.2.86 menjadi Variant of Interest (VOI) tersendiri, terpisah dari induknya, yaitu BA.2.86,” beber Tjandra Yoga kepada Health Liputan6.com, Sabtu (23/12/2023).

“Ini dilakukan WHO karena adanya peningkatan prevalensi JN.1 dalam seminggu terakhir di dunia ini, di mana hal yang sama juga terjadi di negara kita, Singapura dan lainnya.”

Varian EG.5 Paling Banyak Dilaporkan

Di sisi lain, Tjandra Yoga menilai walau kasus JN.1. paling tinggi peningkatannya, tetapi secara total, varian EG.5 masih merupakan VOI yang paling banyak dilaporkan. Indonesia juga mesti waspada, terlebih lagi masa libur Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 masih berlanjut.

Pada laporan terbaru WHO COVID-19 Epidemiological Update edisi 162, menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 36 negara di dunia yang secara konsisten melaporkan kasus baru yang masuk rumah sakit karena COVID-19. 

“Data yang tersaji menunjukkan bahwa di negara kita, ada kenaikan 255 persen perawatan COVID-19 di rumah sakit (dari 41 kasus menjadi 149 kasus) pada periode  20 November sampai 17 Desember 2023, dibandingkan dengan 28 hari sebelumnya, 16 Oktober sampai 12 November 2023,” tulis Tjandra Yoga, Rabu (27/12/2023).

“Secara umum, kompilasi data dari 36 negara ini menunjukkan 12 negara (33 persen), termasuk negara kita, yang menunjukkan kenaikan kasus yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19.”

Amerika Serikat menunjukan kenaikan 25 persen, seakan-akan jauh lebih rendah (sekitar sepersuluh) dari kenaikan di Indonesia, tetapi angka mutlaknya jauh lebih tinggi, yaitu dari 64.522 pada periode 16 Oktober sampai 12 November 2023, naik menjadi 80.882 di periode 20 November sampai 17 Desember 2023.

“Juga disebutkan bahwa negara kita, Indonesia mencatat jumlah kasus tertinggi di daerah WHO Asia Tenggara pada periode 20 November sampai 17 Desember 2023, yaitu 3725 kasus baru, atau 1,4 kasus baru per 100.000. Sayangnya disebutkan bahwa tidak ada data pembanding karena tidak ada data dari negara kita pada periode 28 hari sebelumnya,” pungkas Tjandra Yoga yang juga mantan Dirjen WHO SEARO.

 

4 dari 4 halaman

Gelombang Kecil Kenaikan COVID Setelah Libur Panjang

Senada dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, epidemiolog Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan puncak lonjakan COVID-19 akan terjadi pada Januari 2024 setelah libur panjang.

Walaupun terjadi lonjakan kasus, situasi masih cenderung aman terlebih gelombang yang muncul tidak akan sebesar ketika masa pandemi.

"Prediksinya adalah kita akan mengalami puncak di minggu pertama Januari dengan kasus yang meningkat setidaknya bila tidak bergeser. Walaupun lebih banyak tapi ini adalah gelombang kecil sebetulnya," ucap Dicky, Kamis (21/12/2023).

Dicky menuturkan mayoritas pasien infeksi dan reinfeksi COVID-19 mayoritas tidak bergejala atau hanya memiliki gejala ringan. Namun, pasien rentan seperti lansia dan orang dengan komorbid harus mendapatkan perhatian yang lebih.

"Dalam setiap gelombang baik itu besar dan kecil sekalipun, pasti ada proporsi kematian yang akan timbul. Akan ada proporsi keparahan atau yang memerlukan perawatan ICU," tuturnya.

"Ini yang juga akan dihadapi oleh kota-kota besar, misalnya seperti Jakarta yang tentunya memiliki populasi lansia dan orang dengan komorbid cenderung lebih banyak.”

Banyak Orang Terinfeksi COVID Secara Berulang

Fasilitas kesehatan pun harus siap dengan beban yang akan muncul ketika gelombang itu datang. Tidak hanya COVID-19, beban penyakit pernapasan lain juga akan mengalami peningkatan.

Hal ini terjadi akibat semakin banyaknya orang yang terinfeksi COVID-19 secara berulang pasca pandemi.

"Tapi yang harus diantisipasi adalah dengan kondisi pasca pandemi, banyak yang sudah terinfeksi COVID juga mengalami gangguan imunitas sehingga cenderung terinfeksi penyakit saluran napas lain atau gangguan kesehatan lain yang bisa berbarengan terjadi. Ini yang bisa menjadi beban tambahan untuk layanan kesehatan kalau tidak siap," pungkas Dicky.

Dicky kembali mengingatkan, dalam setiap lonjakan kasus COVID meskipun kecil, ada persentase penduduk rawan yang akan meninggal atau masuk ICU. Ini perlu dipahami oleh semua orang sehingga perlindungan terhadap kelompok rawan perlu dilakukan dengan vaksin booster. 

“Selain itu, untuk orang sehat di sekeliling orang rawan ini juga harus dilindungi dengan cara 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas) tetap diterapkan. Ini penting sekali. Karena apa pun variannya 5M ini efektif,” tutupnya.