Sukses

Hidung Berair Jadi Gejala Dominan COVID-19 Subvarian JN.1 di Eropa

Keluhan atau gejala yang dominan dirasakan pasien COVID-19 JN.1 adalah hidung berair atau beringus.

Liputan6.com, Jakarta - Epidemiolog Dicky Budiman memberikan informasi terkini soal COVID-19 subvarian JN.1. Menurutnya, subvarian Omicron ini menunjukkan beberapa gejala dominan yang tidak sama dengan COVID-19 sebelumnya.

“Berikut ini saya update terkait subvarian JN.1 COVID-19, berdasarkan data yang diambil dari kasus-kasus terkini pasien COVID-19 terinfeksi JN.1 di Eropa khususnya Inggris. Keluhan atau gejala yang dominan adalah hidung berair atau beringus,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Rabu (3/1/2023).

Selain hidung berair, gejala lain yang dirasakan pasien COVID-19 JN.1 di Eropa adalah:

  • Batuk dengan jangka waktu relatif lama
  • Nyeri kepala
  • Kelelahan
  • Nyeri menelan
  • Kesulitan tidur.

“Demam saat ini sangat jarang dirasakan sebagian besar pasien, apalagi hilang penciuman itu sudah sangat jarang, di bawah 3 persen.”

“Ini menandakan bahwa evolusi infeksi COVID-19 ini memang sudah mengarah ke menengah-ringan untuk stadium akutnya. Namun, di sisi lain dalam konteks long COVID ini semakin menguat pada orang yang memiliki masalah imunitas,” tambahnya.

Orang dengan masalah imunitas yang dimaksud Dicky termasuk orang yang belum vaksinasi ketika terinfeksi, terjadi infeksi berulang, atau masalah imunitas akibat komorbid yang berat.

“Sering kali ini akhirnya memiliki kecenderungan untuk mendapatkan gejala long COVID,” ucap Dicky.

2 dari 4 halaman

Lindungi Kelompok Rentan dengan Vaksin Booster

Maka dari itu, lanjut Dicky, vaksin booster menjadi sangat penting dalam menjaga keberlanjutan proteksi pada kelompok rawan.

“Booster memberi proteksi pada perburukan, keparahan, long COVID, maupun fatalitas. Selain itu, juga kan kita memiliki kemampuan dalam memberikan vaksin dalam negeri, misalnya IndoVac dari Biofarma, ini yang harus terus kita kembangkan.”

Namun, Dicky mengingatkan untuk tidak terlena dengan vaksin yang ada saat ini saja. Karena, efektivitas vaksin dalam melawan varian-varian baru bisa semakin berkurang.

“Jangan terlena karena ancaman berikutnya bukan tidak mungkin dari hasil evolusi dan mutasi virus ini vaksin yang ada saat ini mungkin dua, tiga, lima tahun ke depan akan semakin berkurang. Atau bahkan mungkin akan sangat minim efektivitasnya. Sehingga riset vaksin dalam negeri jadi sangat penting,” papar Dicky.

3 dari 4 halaman

Vaksin Harus Bisa Imbangi Percepatan Mutasi Virus

Meski vaksinasi dinilai sangat penting, tapi Dicky tak memungkiri bahwa hal tersebut bukan solusi tunggal.

“Bicara vaksin, tetap penting, tapi kedua kita juga harus menekankan kepada publik dan pemerintah juga harus menyadari bahwa vaksin bukan solusi tunggal.”

“Sehingga, (PHBS) perilaku hidup bersih sehat, 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas), peningkatan kualitas udara dengan ventilasi dan sirkulasi yang baik ini menjadi sangat penting,” papar Dicky.

Di sisi lain, lanjutnya, vaksin juga harus mengimbangi percepatan mutasi atau perubahan karakter dari virus, sehingga riset dan pengembangan vaksin dinilai sangat penting.

4 dari 4 halaman

Kembangkan Riset Vaksin Dalam Negeri

Dicky pun menyampaikan bahwa penggunaan vaksin dalam negeri perlu diprioritaskan ketimbang vaksin buatan luar negeri.

“Saya sangat merekomendasikan untuk memprioritaskan untuk penggunaan vaksin dalam negeri yang sudah kita perjuangkan. Antara lain Indovac,” saran Dicky.

Rekomendasi ini diberikan karena menurutnya, penggunaan vaksin dalam negeri akan memberi manfaat. Selain dapat mengurangi penggunaan vaksin luar, juga dapat mendukung produksi dalam negeri termasuk riset vaksin di Indonesia.

Seperti dikatakan Dicky sebelumnya, dengan pengembangan riset, maka vaksin akan bisa mengimbangi percepatan mutasi virus.