Sukses

KPAI Ungkap Bentuk Eksploitasi Anak Terbanyak Selama Masa Kampanye Pemilu 2024

Menurut KPAI bentuk eksploitasi anak selama masa kampanye yang terbanyak adalah membawa anak dalam kerumunan kampanye.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan setidaknya 19 kasus eksploitasi anak selama masa kampanye Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Ini termasuk dalam pelanggaran hak anak kluster Hak Sipil dan Partisipasi Anak.

Menurut Komisioner KPAI Kluster Hak Sipil dan Kebebasan Anak Sylvana Maria A, bentuk eksploitasi anak selama masa kampanye yang terbanyak adalah membawa anak dalam kerumunan kampanye.

“Eksploitasi ini yang paling banyak adalah anak yang dibawa ikut dalam keramaian selama masa kampanye. Ini memang fenomena yang cukup sulit dicegah,” kata Sylvana kepada Health Liputan6.com saat temu media di Gedung KPAI, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).

Dalam keramaian kampanye, lanjut Sylvana, orangtua cenderung kesulitan dalam memenuhi hak anak. Pasalnya, kerumunan kampanye terkadang tak dapat diprediksi, jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan orang.

Maka dari itu, kerumunan kampanye dinilai sebagai situasi yang berisiko untuk anak. Pasalnya kerumunan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan keamanan anak.

“KPAI mendorong masyarakat untuk tak bawa anak dalam kampanye atau acara dengan massa yang besar karena mengancam kesehatan, kenyamanan, dan keamanan anak,” jelasnya.

Hingga hari ke-46 masa kampanye Pilpres-Pileg 2024 pada 17 Januari 2024, KPAI telah menerima enam pengaduan langsung kasus dugaan pelanggaran Pemilu dan pelanggaran hak anak. Serta mencatat 19 kasus lainnya, yang diberitakan oleh media maupun yang beredar di beberapa platform media sosial.

2 dari 4 halaman

Bentuk Pelanggaran Hak Anak Lainnya

Selain membawa anak ke dalam kerumunan kampanye sambil mengenakan atribut Pemilu, bentuk kasus pelanggaran lain yang terjadi selama masa kampanye 2024 yakni:

  • Menjadikan anak sebagai “target antara” kampanye dengan cara membagi-bagikan benda/barang yang tidak termasuk sebagai alat kampanye;
  • Menggunakan (foto/profil berwajah) anak untuk iklan kampanye;
  • Menjadikan anak sebagai juru kampanye lewat video yang disebarkan di berbagai platform medsos, maupun langsung;
  • Menjadikan anak sebagai pelaku politik uang;
  • Mengarahkan anak untuk mengingat dan mempromosikan capres tertentu;
  • Menjadikan tempat pendidikan sebagai target kampanye;
  • Pemanfaatan ruang dan kreativitas komunitas digital secara kurang selektif;
  • Pendidikan politik dan kewargaan yang tidak tepat;
  • Partisipasi anak yang belum sesuai dengan prinsip dan bentuk ideal partisipasi anak.
3 dari 4 halaman

Individu dan Lembaga yang Abaikan Hak Anak

Anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan dan eksploitasi politik ini berusia antara tiga hingga 17 tahun.

Sementara itu, individu dan lembaga yang mengabaikan hak anak dan prinsip kepentingan terbaik anak selama masa kampanye ini cukup beragam termasuk:

  • Orangtua
  • Guru
  • Orang dewasa di sekitar anak yang memfasilitasi produksi video-video kampanye negatif maupun kampanye yang mendorong pilihan capres
  • Calon anggota legislatif
  • Tim sukses
  • Ketua partai politik
  • Calon presiden atau calon wakil presiden.
4 dari 4 halaman

Undang-Undang yang Dilanggar

Kasus-kasus yang dicatat oleh KPAI tersebut adalah eksploitasi dan penyalahgunaan anak dalam aktivitas politik dan bertentangan dengan mandat sejumlah undang-undang (UU) dan kebijakan nasional. Terutama:

  • UUD 1945 pasal 28B ayat 2 (Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi);
  • UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 280 ayat 2 huruf k (Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih);
  • PKPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang melarang pelibatan anak dalam kampanye;
  • Secara khusus, juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15a (Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik);
  • Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 11 (Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
  • luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi dan berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri).

 

KPAI berpendapat bahwa pengabaian perspektif hak anak dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam demokrasi dan politik elektoral ini berdampak negatif. Termasuk bagi proses tumbuh kembang fisik, mental dan karakter anak, berisiko kesehatan dan keselamatan anak, serta mengurangi secara signifikan kualitas dan mutu demokrasi dan politik Indonesia.

Karena itu KPAI mendorong setiap orang dewasa yang aktif menggunakan hak politiknya sebagai warga negara yang baik agar menggunakan perspektif hak anak dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh prinsip kepentingan terbaik bagi anak.