Sukses

Soal Eksploitasi Anak di Masa Kampanye, Kak Seto: Anak-Anak Tak Belajar Politik dengan Cara yang Sama dengan Orang Dewasa

Selain dampak fisik, Kak Seto juga khawatir bahwa eksploitasi anak di masa kampanye dapat membawa dampak psikis.

Liputan6.com, Jakarta Eksploitasi anak masih terjadi di masa kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024. Hal ini dibuktikan dengan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menemukan 19 kasus eksploitasi anak dalam aktivitas politik.

Temuan kasus ini mendapat tanggapan dari psikolog anak Seto Mulyadi. Pria yang akrab disapa Kak Seto mengatakan bahwa Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) selalu menyerukan agar Pemilu dapat berjalan ramah terhadap anak.

“Dan Pemilu ini jangan sampai ada pelanggaran hak anak, juga jangan ada penyalahgunaan anak-anak dalam hak politik praktis di kampanye Pemilu. Misalnya, melibatkan anak untuk ikut pawai, ikut demo, dan sebagainya. Itu mohon tidak dilakukan,” kata Kak Seto kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (24/1/2024).

Ketua LPAI menambahkan, anak-anak tidak belajar politik dengan cara yang sama dengan orang dewasa.

“Artinya, jangan sampai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, untuk mendapatkan kesehatan dan sebagainya terlanggar karena terlibatnya mereka dalam kegiatan-kegiatan praktis. Kegiatan yang kemudian sering menimbulkan konflik yang bisa berbahaya untuk anak-anak.”

Dalam kampanye, anak-anak bisa saja mengalami luka, kepanasan, kurang istirahat, dan sebagainya.

Selain dampak fisik, Kak Seto juga khawatir bahwa eksploitasi anak di masa kampanye dapat membawa dampak psikis.

“Dampak psikisnya, takutnya justru anak mendapat pandangan kontraproduktif lalu anak merasa ‘wah ternyata politik itu kotor, ternyata politik itu jahat karena ada kekerasan, ada saling caci maki, ada bentrokan dan sebagainya.”

2 dari 4 halaman

Kampanye Sepatutnya Tunjukkan Keteladanan yang Baik

Dengan terbentuknya pandangan keliru terhadap politik, anak akhirnya tidak tertarik pada kegiatan politik pada saat dewasa nanti, lanjut Kak Seto.

“Jadi kita justru harus menunjukkan kepada anak-anak keteladanan. Baik di dalam debat, di dalam kampanye, dengan suasana yang sesuai dengan ajaran karakter profil pelajar Pancasila.”

“Ada unsur akhlak mulia, kejujuran, tidak ada kebohongan atau manipulasi, gotong royong, hargai perbedaan, mengacu pada kreativitas dan sebagainya.”

Semua unsur positif seharusnya dihadirkan dalam kampanye. Pasalnya, walau bagaimanapun anak-anak bisa melihat, baik secara langsung maupun tidak langsung yakni melalui media.

3 dari 4 halaman

Cegah Eksploitasi Anak di Masa Kampanye Perlu Peran Semua Pihak

Lebih lanjut Kak Seto memaparkan, untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak di masa kampanye maka perlu peran berbagai pihak.

“Peran dari Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) kemudian dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk menyampaikan pesan-pesan pada para Parpol (partai politik dan para pendukungnya).”

“Kemudian juga peran media untuk selalu mengingatkan bahwa jangan sampai ini kontraproduktif jadi sesuatu yang justru menimbulkan kebencian anak-anak pada unsur politik, partai, debat dan sebagainya,” jelas Kak Seto.

Jika berjalan dengan baik, maka kampanye dan debat ini bisa melatih daya kritis anak-anak sesuai dengan profil pelajar Pancasila. Debat yang baik adalah debat yang penuh dengan persatuan, gotong royong, saling menghargai dan sebagainya.

“Ini justru menumbuhkan daya kritis dan kreativitas, nah ini yang harus selalu diteladankan oleh para politisi itu sendiri, para pengurus partai, para tokoh, dan semua pemimpin bangsa.”

4 dari 4 halaman

Alasan Eksploitasi Anak di Masa Kampanye Terjadi Dari Masa ke Masa

Kak Seto juga mengungkap alasan mengapa eksploitasi anak di masa kampanye dapat terjadi dari masa ke masa.

“Pertama karena kurang adanya kontrol dan keteladanan yang justru peting ditunjukkan oleh partai politik itu sendiri. Beliau-beliau adalah negarawan atau pemimpin bangsa, memang kadang-kadang ada emosi tapi selalu diingatkan, ada kontrolnya.”

“Serukanlah, mari kita cari pemimpin, partai politik, tokoh, anggota legislatif yang peduli pada pemenuhan hak anak, yang peduli pada perlindungan anak.”

Jika para pemimpin mengingat adanya anak yang perlu dilindungi, berarti pemimpin tersebut memiliki pandangan jauh ke depan untuk mempersiapkan Indonesia di generasi emas 2045.

“Jadi, kualitas pemimpin-pemimpin harus sangat positif, tidak penuh dengan permusuhan, dendam, intrik-intrik, dan sebagainya,” tutup Kak Seto.