Sukses

Ahli dan Aktivis Tuberkulosis Minta Capres Beri Perhatian Serius untuk Eliminasi TB di 2030

Indonesia adalah negara dengan beban TBC kedua terbesar di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Tuberkulosis atau TB (TBC) masih menjadi masalah serius di Indonesia. Maka dari itu, para ahli dan aktivis tuberkulosis meminta calon presiden (capres) untuk tetap memberi perhatian pada upaya eliminasi TB di 2030.

Salah satu dokter yang mengemukakan permasalahan terkait tuberkulosis di Indonesia adalah Nurul Luntungan dari Stop TB Partnership Indonesia.

Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan beban TBC kedua terbesar di dunia. Pada 2023, masih ada ratusan ribu orang yang belum tahu kondisi TBC-nya sehingga masih menulari di tengah masyarakat.

“Masih ada orang yang terkonfirmasi TBC tapi dia belum mulai pengobatan. Bisa karena memang kurang kesadaran mengenai TBC atau karena malu akibat stigma dan diskriminasi. Dan karena mereka harus memilih untuk mulai berobat atau memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” kata Nurul dalam dialog bertajuk “Estafet Akhir Menuju Eliminasi TBC 2030” di Jakarta, Rabu, (31/1/2024).

Masih banyak juga orang TBC yang gagal menjalani pengobatan karena tidak tahan dengan efek samping obat. Sebagian dari mereka juga tidak punya akses pada dukungan psikososial sehingga berakhir depresi atau bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup.

Di hadapan tim sukses tiga calon presiden, Nurul memaparkan beberapa hal yang perlu diupayakan untuk mengeliminasi tuberkulosis, hal-hal itu adalah:

  • Kementerian Kesehatan harus mampu melaksanakan dan memastikan layanan kesehatan berpusat pada pasien.
  • Melibatkan fasilitas kesehatan swasta sebagai pemberi layanan TB sehingga orang dapat berobat tidak hanya di fasilitas kesehatan pemerintah tapi juga bisa mengakses obat-obat gratis. Dan bisa mengakses diagnostik yang masih disediakan oleh pemerintah.
2 dari 4 halaman

Harapan Selanjutnya

  • Memastikan industri kesehatan bisa mencukupi kebutuhan logistik dan pengobatan.
  • Memastikan komunitas terlibat untuk memperkuat layanan kesehatan dan implementasinya dilakukan dengan memperkuat layanan kesehatan primer di seluruh daerah.
  • Orang terdampak TBC harus dipastikan mendapatkan perlindungan ekonomi dan proteksi sosial.
  • Peserta didik, tenaga kerja, semuanya harus dipastikan mendapatkan perlindungan akan status didik dan pekerjaannya selama menjalani pengobatan.
  • Pemerintah nasional dan pemerintah daerah harus memastikan adanya kebijakan, ada perencanaan, dan penganggaran TBC yang mencukupi sehingga kebutuhan pembiayaan TBC bisa dipenuhi. Tidak selalu bergantung pada hibah luar negeri.

“Hanya dengan kerja sama, kepemimpinan yang kuat dan investasi yang berdampak serta gotong royong multi sektor, Indonesia bisa mencapai eliminasi TBC di tahun 2030,” kata Nurul.

3 dari 4 halaman

Harapan untuk Calon Presiden

Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis paru Erlina Burhan meminta agar siapapun yang menjadi presiden dapat memerhatikan masalah-masalah TB di Indonesia.

“Saya ingin tuberkulosis ini akan menjadi perhatian khusus siapapun di antara kalian yang nantinya ditakdirkan dan dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk memimpin. Mohon tuberkulosis diperhatikan dan dilakukan semua effort untuk kita bisa mencapai eliminasi di 2030,” kata Erlina.

Ahli TBC itu menggarisbawahi, tuberkulosis bukan hanya masalah medis. Berdasarkan pengalamannya menjadi dokter selama lebih dari 30 tahun, masalah medis yang timbul akibat TB hanyalah sedikit.

“Masalah medis dari tuberkulosis ini hanya sedikit, 30 persen, paling banyak 40 persen. 60 persennya adalah non medis. Ada masalah diskriminasi dan masalah sosial.”

4 dari 4 halaman

Masih Ada Sumber Penularan di Tengah Masyarakat

Erlina menambahkan, estimasi kasus TB di Indonesia tahun lalu masih 969.000 per tahun. Kementerian Kesehatan dan aktivis TB berhasil menemukan 809.000 kasus atau kira-kira 83 persen.

“Jadi masih ada 17 persen yang tidak ditemukan. Apa yang terjadi kalau mereka tidak ditemukan? Artinya tidak diobati dan tetap menjadi sumber penularan untuk sekitarnya,” jelas Erlina.

Belum lagi ada tantangan yang lebih besar yakni TB resisten obat (RO). Temuan kasus TB RO hanya 65 persen, artinya 35 persen ada di masyarakat, tidak diobati, dan tetap jadi sumber penularan.