Sukses

Kepala BKKBN Singgung Botol Susu Bisa Jadi Sarang Bakteri, Bikin Bayi Gampang Diare

Botol susu dapat memicu penyakit seperti diare jika digunakan dalam keadaan kotor atau kurang steril.

Liputan6.com, Jakarta - Botol susu kerap menjadi alat pertama yang dipilih oleh para ibu ketika tak bisa memberikan ASI secara langsung pada bayinya yang baru lahir. Jika digunakan dengan benar dan steril, botol susu memang dapat membantu.

Namun, alat ini juga dapat memicu penyakit seperti diare jika digunakan dalam keadaan kotor atau kurang steril. Oleh karena itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengingatkan para ibu agar berhati-hati.

"Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak diare. Kenapa diare? Bukan karena susunya, tapi karena botolnya tidak steril. Bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul- betul disteril," kata Hasto dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis, 8 Februari 2024.

Menjaga botol susu tetap steril adalah upaya agar anak tetap sehat di masa pertumbuhannya. Dia pun menyinggung soal masalah kesehatan anak yang harus menjadi perhatian, salah satunya stunting. "Untuk mengatasi stunting harus dilakukan tepat sasaran. Yang pasti, ketika kemampuan intelektual dan skill seorang anak bagus, itu menunjukkan bahwa ia tidak stunting. Presiden yang akan datang juga harus mengutamakan pembangunan SDM," tambahnya.

Cegah Stunting Sejak Terjadinya Konsepsi

Dokter spesialis kandungan dan kebidanan ini kembali mengingatkan bahwa pencegahan stunting penting dilakukan di periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Bahkan, sejak terjadinya konsepsi sampai usia bayi dua tahun.

Konsepsi adalah bertemunya sel telur dan sperma. Keduanya harus bagus untuk dapat menentukan kualitas janin yang akan dikandung ibu. Sejalan dengan itu, perkembangan otak bayi maksimal hingga usia dua tahun.

"Selanjutnya, Allah akan menutup ubun-ubun bayi setelah usia dua tahun. Kecil kemungkinan perkembangan otak bayi setelah usia dua tahun," katanya. "Jadi, hamil itu harus terencana. Kalau hamil jangan main-main, kalau main-main jangan hamil," Hasto menambahkan.

2 dari 3 halaman

Ciri Khas Stunting

Hasto menjelaskan bahwa ciri khas stunting adalah bertubuh pendek, tapi pendek belum tentu stunting. Ciri yang lebih khas lagi, otak anak stunting tidak cerdas dan orang stunting sering sakit-sakitan.

Menurut Hasto, anak stunting akan mengalami central obes yang mudah kena penyakit darah tinggi, jantung, stroke, dan sejenisnya. "Terjadinya stunting ini biasanya karena kekurangan asupan protein hewani," kata Hasto.

Dalam pertemuan di Yogyakarta pada 7 Februari 2024, Hasto juga menyoroti masalah kependudukan Di DIY. Menurutnya, wilayah ini banyak dihuni orang tua. Kemiskinan juga tinggi karena banyak orang tua tidak produktif. Sementara, harapan hidup laki-laki lebih rendah.

"Kondisi itu menyebabkan banyak janda tua tidak produktif. Untuk itu, pentingnya pemberdayaan perempuan agar mereka lebih produktif untuk mengatasi middle-income trap," kata Hasto.

3 dari 3 halaman

Upaya Penurunan Stunting di DIY

Upaya percepatan penurunan stunting di Kota Yogyakarta dilakukan melalui intervensi sensitif dan spesifik.

Ini disampaikan Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) D.I. Yogyakarta, Yunianto Dwi Suseno, dalam keterangan yang sama.

Intervensi ini melibatkan lintas sektor dari tingkat kelurahan hingga kota dan menyasar lima kelompok.  Targetnya, tahun 2023 prevalensi stunting di Kota Yogyakarta lebih rendah dari 13,8 persen yang terjadi di tahun 2022.

Ia mempertegas bahwa percepatan penurunan stunting di Kota Yogyakarta sudah di arah yang benar. Ini terbukti adanya penurunan angka stunting dari 17,1 persen pada 2021 menjadi 13,8 persen tahun 2022.

Dalam upaya mengatasi masalah stunting, Yunianto mengatakan, remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, ibu pasca salin dan bayi di bawah dua tahun atau baduta, menjadi sasaran pendampingan Tim Pendamping Keluarga atau TPK.

Tim ini terdiri tiga orang dari unsur kader KB, kader PKK dan bidan. Secara nasional, TPK berjumlah 200.000 tim, dengan 600.000 anggota, tersebar di seluruh pelosok pedesaan.