Sukses

Ahli Ajak Masyarakat Melihat Teknologi Wolbachia untuk Lawan DBD dari Sisi Positif

Guna menurunkan angka kasus DBD, para peneliti berupaya mengembangkan teknologi Wolbachia, tapi picu pro kontra.

Liputan6.com, Jakarta Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah di Indonesia. Hingga minggu ketujuh 2024 sudah ada 10.665 kasus DBD dengan angka kematian 89 kasus.

Angka ini dilaporkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan disampaikan pula oleh dokter spesialis penyakit dalam - konsultan penyakit tropik infeksi Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo.

Guna menurunkan angka kasus DBD, para peneliti berupaya mengembangkan teknologi Wolbachia.

“Yang kemarin menjadi perbincangan hangat itu adalah teknologi Wolbachia. Teknologi wolbachia adalah inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia,” kata Soroy dalam diskusi daring Tata Kelola Integratif Demam Berdarah Dengue bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Selasa (27/2/2024).

Dari inovasi ini, berbagai harapan dan kendala mengemuka. Program kebijakan pengendalian DBD baik pencegahan, deteksi dini dan manajemen di Yogyakarta diharapkan lebih efektif dengan adanya teknologi Wolbachia.

Sayangnya, pengembangannya menghadapi tantangan dalam inovasi penanggulangan DBD yaitu penyediaan dan kecukupan telur ber-wolbachia, perencanaan kegiatan, pembiayaan serta pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat program ini.

“Mengkaji uraian diatas, setidaknya kita mendapatkan dialektika epidemiologi dengan perspektif baru,” kata Soroy.

2 dari 4 halaman

Pro Kontra Wolbachia

Penerapan teknologi Wolbachia menghadapi berbagai pro kontra. Tak sedikit masyarakat yang khawatir bahwa nyamuk berwolbachia dapat membawa dampak negatif bagi masyarakat.

Soroy menjelaskan, dirinya adalah mantan mahasiswa S3 Universitas Gadjah Mada (UGM). Universitas ini mengembangkan teknologi Wolbachia dan Soroy turut serta dalam memantau perkembangannya.

Teknologi yang dikembangkan sejak 2011 ini sempat diuji coba di sebuah desa di Yogyakarta dan hasilnya menunjukkan keberhasilan.

“Saya sebagai mantan mahasiswa S3 UGM yang ikut memantau (teknologi Wolbachia), ini proyeknya sudah lama dari 2011. Dan diuji coba di desa di daerah Yogyakarta hasilnya ada keberhasilan. Jadi, saya melihatnya dalam konteks positif ya.”

3 dari 4 halaman

Sudah di Tahap Uji Berbasis Bukti

Lebih lanjut Soroy menjelaskan bahwa teknologi Wolbachia lebih melihat aspek hulu. Teknologi ini menyasar media atau vektor penyebar demam berdarah dengue yakni nyamuk betina aedes aegypti.

“Jadi diharapkan, media tervektornya itu dengan adanya bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke nyamuk betina, dia tidak akan menimbulkan suatu penetrasi virus ke darah manusia yang dia gigit.”

Soroy mengimbau masyarakat untuk melihat bahwa teknologi Wolbachia ini adalah upaya yang positif. Manfaat Wolbachia semakin diperkuat dengan masuknya teknologi ini dalam tahap uji berbasis bukti.

“Jadi kita harus melihat segala aspek yang berhubungan dengan dengue ini secara positif. Dan ini sudah dalam tahap perjalanan yang dalam kedokteran itu disebut evidence base medicine, uji yang berbasis bukti.”

4 dari 4 halaman

Dukungan Kemenkes

Guna mendukung teknologi ini, Kemenkes RI merencanakan membangun pabrik telur nyamuk Wolbachia. Pabrik ini akan memproduksi jentik-jentik telur nyamuk yang sudah dimasukkan bakteri Wolbachia.

Rencana pembangunan pabrik telur nyamuk ber-Wolbachia disampaikan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu.

"Kita berencana dengan World Mosquito Program (WMP), bekerja sama dengan Bio Farma untuk membuat pabrik telur nyamuk ber-Wolbachia," ujar Maxi saat Diskusi publik Peran Masyarakat dalam Perlindungan Keluarga terhadap Ancaman Dengue di Hotel Manhattan Jakarta pada Rabu, 17 Januari 2024.

"Jadi, kita dalam proses pembuatan pabrik telur nyamuk ber-Wolbachia," tambahnya.