Liputan6.com, Jakarta Meski namanya tak begitu nyaring di telinga publik, sosok perempuan ini tak bisa dianggap enteng. Lihat saja saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Sabtu 17 Februari 2024, sejumlah tokoh ikut hadir memberikan penghormatan.
Tak kurang dari Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, mantan Menko Polhukam Mahfud Md hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hadir mendengarkan Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, SpP(K), M.Sc. membacakan pidato pengukuhannya dalam acara yang dipimpin langsung Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.
Baca Juga
Dalam pidato berjudul “Orkestrasi Menuju Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia pada Tahun 2030”, Erlina menyoroti kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia yang mengalami pola peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dirilis WHO Global TB Report, ada 834.000 kasus baru di Indonesia pada 2010 yang meningkat menjadi 842.000 di tahun 2019 dan puncaknya mencapai 1.060.000 kasus pada 2022.
Advertisement
Erlina Burhan adalah dosen FK-UI spesialis paru yang lahir di Padang, Sumatera Barat pada 15 Mei 1966. Ia menyelesaikan pendidikan kedokteran umum di Universitas Andalas, Padang pada 1989 dan melanjutkan studi di Universitas Heidelberg, Jerman dengan meraih gelar Master Sains pada 1995.
Pada 2004, ia mendapatkan gelar spesialis paru di UI dan satu tahun kemudian Erlina menjadi Dosen FK-UI sampai sekarang. Dedikasinya sebagai pendidik pula yang membawa Erlina meraih gelar konsultan (Sp. P(K)) di bidang infeksi paru-paru pada 2010. Puncaknya, pada 2012 ia berhasil mendapatkan gelar doktor dari UI.
Sebagai dosen, Erlina sangat dikenal dengan keramahannya. Ia kerap mengajak mahasiswa untuk berkontribusi langsung dalam kegiatan ilmiah. Bahkan, ia juga memperkenalkan mahasiswa bimbingannya kepada tokoh dan ahli dalam berbagai ilmu.
Selain sebagai dosen, Erlina juga menjabat sebagai kepala Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Pernapasan FK-UI. Tak hanya itu, ia juga aktif berkonrtibusi dalam berbagai penelitian dan menghasilkan banyak tulisan ilmiah, baik nasional maupun internasional.
Erlina juga bergabung dengan beberapa organisasi, seperti Koalisi Organisasi Profesional Tuberkulosis (TB) sebagai kepala profesional, Ketua Majelis TB tentang Masyarakat Respirologi Asia-Pasifik sejak 2017 sampai sekarang, anggota kelompok pengembangan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan bersama American Thoracic Society, Erlina juga membuat pedoman standar internasional perawatan TB.
Saat pandemi Covid-19, Erlina sangat aktif memberikan pendidikan dan informasi kepada masyarakat melalui berbagai media. Ia juga melakukan penelitian tentang Covid-19, baik uji klinis maupun non-uji coba.
Berpraktik di sejumlah rumah sakit di Jakarta, Erlina yang menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jakarta periode 2015–2020 mengaku tak banyak memiliki waktu mendampingi anaknya belajar di rumah karena harus bekerja di rumah sakit saat pandemi melanda.
Sebagai apresiasi atas kontribusi tersebut, ia menerima berbagai penghargaan, salah satunya sebagai Tokoh Perubahan Republika 2020 yang diberikan langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Lantas, apa saja tambahan kesibukan Erlina setelah menjadi Guru Besar Tetap UI dan apakah kesempatan berkumpul dengan keluarga semakin berkurang?
Berikut petikan wawancara Erlina Burhan dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.
Tertarik Tuberkulosis di Namibia
Apakah menjadi dokter dan dosen seperti sekarang memang cita-cita Prof sejak kecil?
Kalau saya kan zaman dulu itu sering di sekolah kita mengisi buku kenangan. Nah biasanya di buku itu menulis nama, alamat, hobi, terakhir cita-cita. Dan waktu itu saya ingat sekali di SD saya mengisinya jadi dokter. Saya kira hampir semua kita mengisi dokter ya sebagai cita-cita.
Mungkin laki-laki nulisnya pilot, tentara gitu. Kalau perempuan rata-rata dokter. Enggak ada yang cita-cita ibu rumah tangga, nulis gitu enggak ada ya. Pas SMP, kebiasaan zaman dulu tuh kita masih sering lakukan, nulis-nulis buku gitu. Buku kenangan apa sih namanya. Lalu saling minta diisi gitu ya. Itu saya juga heran bertahan terus nulisnya dokter. Bahkan SMA juga begitu, dokter juga.
Bisa jadi ketika menuliskan kata dokter itu sekaligus menjadi doa ya?
Mungkin ya, mungkin.
Dari cita-cita akhirnya kemudian menjadi profesi?
Ya seiring berjalannya waktu dan kebetulan waktu SD, SMP, SMA juga nilai saya lumayan begitu ya, sehingga waktu ikut tes perguruan tinggi diterima. Dan saya tipe orang yang kalau mengerjakan sesuatu pasti dengan sungguh-sungguh dan punya keinginan kuat untuk mencapainya.
Lantas kenapa memilih spesialis paru?
Oh itu sebetulnya saya enggak milih ya. Jadi waktu saya di puskesmas, dulu itu kalau tamat dokter wajib ke puskesmas selama tiga tahun ya. Kemudian saya mendapatkan informasi, ada beasiswa DAAD. Dan salah satu disebutkan ada untuk dokter.
Dan itu sekolahnya di Jerman, Heidelberg karena DAAD kan beasiswa dari pemerintah Jerman. Lalu saya apply dan alhamdulillah diterima dan kemudian setelah dari puskesmas, menikah dulu, lalu berangkat ke Jerman.
Itu berarti beasiswa S2 ya?
S2 iya. Jadi S2 saya itu tentang community health. Nah, menariknya di program itu mengharuskan kita melakukan riset untuk tugas akhir, dan syarat risetnya juga bagus nih. Melakukan riset enggak boleh di Jerman, tidak boleh di negara asal.
Jadi saya juga mikir nih, di mana ya kira-kira risetnya? Saya mikir pengen melakukan riset di suatu tempat yang saya belum pernah ke tempat itu. Saya sudah pernah tinggal di Amerika karena waktu SMA ikut program AFS, itu pertukaran pelajar waktu SMA. Kemudian juga di Jerman kan sekolahnya sampai Jumat, Sabtu dan Minggu bisa ke negara-negara lain.
Tapi saya pikir kan itu mudahlah ditempuh, jadi janganlah negara-negara sekitar Jerman gitu ya. Kalau coba ke benua Australia saya juga pernah fellow enam bulan. Yang saya belum pernah ke Afrika nih, gitu ya.
Lalu kemudian saya tanya ke institut, kalau di Afrika apakah ada penelitian-penelitian atau project yang sedang berlangsung yang saya bisa ikut penelitian di project tersebut? Ternyata ada, tepatnya di Namibia, itu dekat Afrika Selatan. Dan kebetulan saat itu saya bisa melakukan penelitian tentang tuberkulosis.
Waktu itu meneliti tentang mengapa pasien-pasien tuberkulosis itu sebagian enggak selesai berobat sampai sembuh. Jadi saya melakukan wawancara kepada pasien, keluarga dan juga para petugas. Kendalanya memang ada waktu itu kan masalah bahasa ya. Kalau dokter dan perawatnya bisa bahasa Inggris tapi pasiennya kan enggak bisa.
Bahasanya bahasa Afrika yang di sana bahasanya banyak banget. Sama dengan Indonesia, ada Sunda, ada Jawa, ada Padang, ada Batak, di sana juga gitu. Akhirnya ya tentu saja saya pakai penerjemah.
Ketika itu mulai tertarik dengan tuberkulosis?
Iya, saya kemudian memutuskan, nanti kalau kembali ke Indonesia saya harus ambil spesialis ini, ingin mengambil spesialis yang berhubungan atau related dengan tuberkulosis. Walaupun di puskesmas juga ketemu dengan pasien-pasien tuberkulosis, tapi ketika itu belum ada ketertarikan.
Tapi begitu di Afrika meneliti dan mengetahui bahwa tuberkulosis itu banyak sekali masalahnya, bukan hanya masalah medis, saya merasa harus lebih banyak belajar nih. Jadi setelah riset, kembali ke Jerman, menyelesaikan S2 dan kembali ke Indonesia, kemudian seterusnya melanjutkan sekolah lagi menjadi dokter spesialis paru di FKUI.
Sekarang Prof juga dikukuhkan sebagai Guru Besar FKUI, apakah kesibukannya bertambah?
Sebetulnya, apakah jadi guru besar atau bukan guru besar, guru biasa saja atau dosen biasa, kesibukannya sih tetap sibuk ya. Cuma mungkin kalau jadi guru besar ada tuntutan untuk fokus mengajar lebih banyak lagi. Dan juga mungkin menambah riset-risetnya dengan membimbing banyak teman-teman dokter dan murid-murid juga begitu ya.
Tapi kalau kesibukan, saya rasa sih sebelum guru besar pun saya sudah sibuk ya. Apalagi kan sebagai dosen kita punya Tridarma Perguruan Tinggi ya, untuk pelayanan, untuk pendidikan, dan penelitian. Jadi tiga aspek itu harus kita penuhi.
Advertisement
Sedang Meneliti Vaksin TB yang Baru
Tadi Prof mengatakan suka melakukan riset, saat ini riset apa yang sedang dilakukan?
Kalau riset yang saya lakukan sangat bervariasi ya, tapi memang bidangnya respirasi atau ilmu paru. Mulai dari obat TB, nah kemudian pada saat Covid tuh tentang vaksin Covid. Penelitian untuk obat-obat baru ya.
Selain itu, sebetulnya sudah lama saya merasakan kebutuhan akan vaksin tuberkulosis. Kita mungkin masih ingat atau diinformasikan oleh orangtua bahwa pernah divaksin TB kan? Vaksin BCG. Vaksin BCG itu adalah vaksin yang sudah lama ditemukan, tahun 1900-an ya, jadi sudah 100 tahun lebih.
Tapi kita melihat dalam perjalanannya ternyata tidak efektif. Buktinya apa? Harusnya kan kalau divaksin orang enggak sakit lagi ya, tapi kemudian kan TB terus banyak kan? Saat ini di dunia kasusnya lebih dari 10 juta kasus baru. Indonesia juga kan lebih dari 1 juta sekarang, 1.060.000 kasus.
Artinya apa? Vaksin BCG ini efektif untuk anak-anak ya, untuk pencegahan TB dan ditambah lagi salah satu manfaatnya adalah kalaupun anak tersebut kemudian terinfeksi TB dan sakit TB, sakitnya tidak berat. Jadi tidak sampai ke otak, tidak sampai ke tulang, tidak sampai ke usus atau begitu ya.
Kan kita mengenal meningitis TB, itu TB di selaput otak, TB di tulang, TB di usus. Nah ini kalau divaksin BCG enggak sampai seperti itu. Dan juga sebetulnya ternyata kemudian kita sadar ini tidak cukup manfaatnya untuk orang dewasa, BCG ini.
Saya sudah lama memikirkan, kalau bercita-cita sih sudah terlambat ya, sudah tua, tapi dalam 10 tahun terakhir ini selalu memikirkan kenapa ya enggak ada vaksin TB yang baru dan pernah terpintas ingin sekali menciptakan vaksin untuk TB, atau at least terlibat dalam progres untuk terciptanya vaksin TB.
Kenapa itu tidak dilakukan?
Karena memang infrastrukturnya tidak mendukung, kemudian juga untuk penelitian vaksin itu biayanya besar sekali. Rasa-rasanya kalau tidak kolaborasi enggak mungkin. Nah, kemudian saya terekspos dengan suatu vaksin TB yang sudah dikembangkan pertama sekali oleh perusahaan farmasi namanya GSK. Tapi vaksinnya belum jadi ini, masih tahap awal, tahap uji klinis.
Jadi kalau uji klinis itu ada dua tahapan. Tahapan pra-klinik itu masih di hewan dan dicoba di laboratorium, dan tahapan uji klinis di manusia. Dan itu pun ada fasenya, fase 1, 2, 3. Nah vaksin TB yang sudah dikerjakan ini masih di pra-klinik dan belum ada namanya, masih pakai kode, namanya vaksin M72. Nanti kalau sudah terbukti efektivitasnya, barangkali akan ada namanya.
Jadi penelitian vaksin M72 itu akan melibatkan 8 negara. Enam negara di Afrika, dua negara di Asia, dan salah satunya Indonesia. Kebetulan saya beruntung ditunjuk menjadi principal investigator untuk tingkat nasional, karena di Indonesia nanti akan melibatkan 5 tempat tapi tentu harus ada PI nasionalnya ya dan itu saya.
Sekarang kita sedang masa persiapan, izin etiknya sudah ada, kita sedang mempersiapkan. Mudah-mudahan sih kita akan mulai di bulan Mei atau Juni, begitu ya. Mudah-mudahan kita bisa menjalankannya dengan baik dan juga mudah-mudahan berhasil, artinya efikasinya cukup baik. Kalau efikasinya baik itu akan diproduksi massal dan dipakai untuk seluruh dunia.
Jujur saya antusias dengan riset ini, karena sejak awal saya memang ingin sekali ada vaksin baru dan kalau ini berhasil, itu suatu kebanggan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara terlibat di dalam terciptanya vaksin ini. Dan kita sebagai dokter Indonesia juga ikut berkiprah di dalamnya, itu akan sangat membanggakan.
Apa sih tantangan yang dihadapi saat akan melakukan riset?
Jadi begini ya, kita di Indonesia ini tidak banyak melakukan penelitian uji klinis, padahal penelitian vaksinnya masuk ke dalam kategori uji klinis atau clinical trial. Jarang sekali kita melakukan uji klinis. Bukan berarti nggak pernah ya, tapi jarang dan membutuhkan infrastruktur yang mumpuni terutama laboratorium.
Karena banyak sekali pemeriksaan-pemeriksaan yang sangat-sangat canggih yang harus dilakukan. Terutama pemeriksaan immunogenicity yang juga jarang kita lakukan. Jadi infrastruktur kita itu belum suportif. Ditambah lagi yang justru berat adalah biaya. Uji klinis itu mahal banget ya.
Kalau dari segi SDM, saya kira kita enggak kalah. Dari segi SDM para peneliti kita, para dokter dan scientist kita kemampuannya sama. Tapi itu tadi, labnya, laboratoriumnya.
Di dunia ada 16 jenis vaksin yang sedang dalam penelitian di banyak negara. Untuk Indonesia kita akan melakukan yang ini tapi ada satu lagi juga kandidatnya, yaitu vaksin TB yang bukan disuntikkan, tapi inhalasi.
Dihirup?
Iya dihirup. Jadi teknologinya berbeda. Nah ini kita juga sedang persiapan. Dan untuk vaksin yang dihirup ini keterlibatan saya lebih dalam lagi, mulai dari ikut menyusun protokolnya dan mulai dari fase 1, 2, dan 3. Kalau yang vaksin M72 ini kan sudah dilakukan oleh negara-negara lain, kita di fase tiganya. Jadi keren deh pokoknya.
Dan saya juga minta doa dari masyarakat supaya ini berhasil ya, walaupun ada tantangan lain seperti pendapat-pendapat bahwa vaksin itu rekayasa, vaksin itu hoax. Banyak juga netizen yang terpengaruh ini. Jadi saya pengalaman waktu Covid kalau saya bicara vaksin, itu banyak juga yang memberikan komen-komen negatif.
Saya juga mau bicara soal Covid, bahwa saat ini kan Covid kita katakan terkendali. Tapi bukan berarti enggak ada kasus. Kasusnya ada, bahkan ada beberapa yang dirawat, di mana mereka adalah orang yang dengan komorbid dan tidak divaksin. Banyak yang begitu.
Tapi kan netizen luar biasa ya itu nakut-nakutin. Tapi ya saya karena punya basic pengetahuan tentang itu dan saya percaya bahwa ini bermanfaat, saya tetap memberikan edukasi tentang vaksin ini.
Tuberkulosis Memang Menular, tapi Bukan Penyakit Turunan
Tadi Prof mengatakan kalau TB itu banyak macamnya, bisa dijelaskan apa sebenarnya tuberkulosis itu?
Tuberkulosis itu kan penyakit menular ya. Tapi jangan salah, banyak masyarakat menganggap TB itu penyakit turunan atau dikirim nih penyakitnya lewat santet, makanan, segala macam gitu ya. Kita harus luruskan bahwa tuberkulosis itu adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri. Ingat ya, bakteri, bukan yang lain-lain, bukan turunan.
Dan bakterinya itu ada di udara, enggak terlihat dan karena ada di udara bisa terhirup dan masuk ke dalam tubuh. Terhirup lewat saluran napas. Tapi jangan kemudian merasa ketakutan gara-gara pasien TB di Indonesia banyak.
Kira-kira kasus barunya 1 juta 60 ribu per tahun. Lalu semua jadi panik? Enggak usah panik karena 70 persen dari orang yang menghirup, tapi mereka tidak sakit. Karena apa? Karena sistem imunnya mampu melawan sehingga kumannya kalah.
Sementara yang 30 persen terinfeksi, tapi belum tentu sakit. Terinfeksi artinya kuman TB-nya ada dalam tubuh, ya. Jadi dalam tubuh masuk ke paru, tapi juga bisa masuk ke pembuluh darah dan ke saluran limfa.
Dan itu kemudian menyebar ke organ yang lain, maka bisa ke tulang, bisa ke otak, bisa ke liver, bisa ke usus, bisa ke jantung bahkan, bisa ke kulit juga. Nah, jadi 80 persen menginfeksi paru jadi sakit TB paru, tapi 20 persen bisa mengenai organ yang lain.
Nah, saya juga ingin menyampaikan kalau yang menular adalah TB paru. Karena menular, kumannya keluar lewat batuk sehingga muncul di udara bebas ini. Tapi kalau TB kelenjar, misalnya ada di leher kan ada juga ya. TB kelenjar, TB tulang, TB usus itu enggak menular karena dia enggak bisa keluar kan? Yang menular adalah TB paru.
Artinya ketika berbicara berhadapan dengan orang yang menderita TB paru bisa membuat kita terinfeksi, tertular?
Ya, TB paru itu kan ditularkan umumnya lewat batuk, kumannya keluar, tapi lebih banyak lagi keluar kalau dia bersin. Nah lebih banyak tuh kumannya. Tapi kalau kumannya itu banyak banget di paru, di saluran napas, enggak perlu batuk, bahkan berbicara pun bisa keluar kumannya, bisa menularkan. Saking banyaknya itu kuman.
Saya sih sedikit berterima kasih kepada Covid ya. Kenapa? Karena pada saat Covid orang sudah terbiasa pakai masker. Dulu sebelum Covid susah tuh saya kalau suruh pasien pakai masker. Walaupun dikatakan kalau Anda pakai masker, maka Anda tidak akan menularkan kumannya kepada orang lain. Karena saat berbicara, batuk atau bersin, kumannya nempel di masker, enggak sampai ke udara.
Yang jelas sejak Covid orang sudah biasa kan pakai masker. Jadi sekarang biasa saja tuh pasien-pasien pada pakai masker, enggak masalah. Jadi ada juga sih hikmah dari Covid ya.
Dari pengalaman Prof, apa saja tantangan dalam menangani pasien TB?
Pertama adalah bahwa tadi pasien-pasien itu kadang-kadang enggak ngerti tentang TB ini. Mereka menganggap, saya enggak ada turunan TB kok saya TB, jadi denial. Menyangkal. Karena merasa bukan, turunannya enggak ada yang sakit TB. Jadi kita jelaskanlah kembali bahwa TB itu penyakit menular, bukan turunan, bukan kiriman orang ya.
Kemudian ada juga mengatakan, oke saya mau minum obat tapi enggak mau lama-lama. Nah, ini tantangan lagi, kita menerangkan bahwa obatnya memang lama. Penelitian menunjukkan saat ini 6 bulan baru dikatakan sembuh karena kumannya banyak, sifat kumannya berbeda-beda, butuh obat lebih dari satu.
Obatnya kan 4 atau 3 macam, tapi kebanyakan 4 macam, dan itu lamanya 6 bulan. Walaupun kita akan segera mengimplementasikan pengobatan tuberkulosis yang 4 bulan. Jadi makin banyak nih inovasi kemajuan dari perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuat pasien-pasien menjadi nyaman. Dan tujuannya sih sebenarnya agar upaya menuju eliminasi TB di tahun 2030 ini semakin menjadi kenyataan.
Jadi banyaklah inovasi baik menemukan teknologi diagnosis terbaru, kemudian juga ada vaksin baru, ada obat-obat baru yang tadinya durasi pengobatan 6 bulan jadi 4 bulan. Bahkan cita-cita dunia sih sebetulnya pengobatan TB ini cukup dua minggu saja, tapi masih lama. Sekarang intinya kita sudah punya loh pengobatan TB yang 4 bulan.
Kemudian juga ada pengobatan TB yang resisten dengan obat, yang biasanya 18 bulan bahkan 2 tahun, yang paling pendek 9 bulan. Sekarang sudah ada yang 6 bulan dan kita sudah lakukan riset implementasi untuk itu dan angka kesembuhannya tinggi banget, 97,3 persen.
Jadi saya sangat mengendorse bahwa di Indonesia kemudian pengobatan TB RO yang hanya 6 bulan ini sudah mulai merata dilakukan. Sampai saat ini sih sudah banyak rumah sakit yang bisa, di banyak provinsi. Jadi saya senang banget nih ada kemajuan-kemajuan seperti ini ya.
Advertisement
Batuk, Tanda Awal Seseorang Terpapar Tuberkulosis
Apa sih gejala awal seseorang yang terdeteksi mengidap TB, Prof?
Baik, saya bicara TB paru dulu ya, karena kebanyakan kan TB paru nih, 80 persen saya katakan ya. Jadi kalau TB paru itu gejala yang paling umum adalah batuk. Batuk ya. Kemudian ada gejala lain yang orang enggak rasain, yaitu badannya anget-anget, atau demam tapi enggak terlalu tinggi. Jadi anget-anget gitu ya, dan kemudian bisa kembali normal tanpa pengobatan. Hilang-timbul, hilang-timbul demamnya.
Pernah ada lagi merasa lesu, letih, lelah, tapi orang suka mengira ah ini kan saya kecapekan karena kerja, karena lagi banyak tugas, gitu ya. Dan nafsu makannya menurun, sehingga kalau lama-lama nafsu makan menurun kemudian berat badannya juga turun. Tapi kadang-kadang yang denial bilang, oh iya Dok, saya turun karena saya mulai diet. Saya olahraganya kencang makanya turun.
Kalau saya terangkan kepada pasien, Anda berat badannya turun ya? Iya. Nah itu salah satu gejala dari tuberkulosis. Oh enggak Dok, saya ini memang lagi diet. Padahal itu adalah salah satu gejala ya. Dan selain itu, kalau parunya sudah terlalu luas kelainannya itu bisa sesak, sesak napas. Tapi itu kalau sudah parah ya. Kalau belum parah sih paling batuk-batuk doang.
Dan kalau sudah mengenai lapisan terluar dari paru yang kita sebut istilah medisnya pleura, itu biasanya ada nyeri dada. Tapi kalau hanya di jaringan paru sih enggak ada nyeri dadanya. Ya paling batuk, kemudian demam-demam. Batuk biasa nih, enggak ada batuk yang biasa. Orang normal itu enggak batuk.
Dari flu kan terus biasanya batuk?
Ya itu berarti karena ada flu kan? Ya jadi manusia normal itu enggak batuk. Kalau sampai batuk itu pasti ada sesuatu. Batuk itu adalah refleks dari saluran napas untuk membersihkan saluran napas. Misalnya karena ada dahak, karena proses radang misalnya ada dahak.
Dahak itu enggak boleh ada di saluran napas, jadi maka saluran napas akan melakukan reflek batuk, dikeluarkan. Kalau TB juga kan ada produksi dahaknya tuh, batuk juga karena ingin mengeluarkan itu.
Berarti kalau misalnya batuk dan terus-terusan itu berarti ada sesuatu?
Ada sesuatu, dan salah satunya di Indonesia terutama karena kita negara nomor 2 loh di dunia yang beban TB-nya tinggi. Nomor 2 di dunia, jadi untuk Indonesia kalau orang batuk-batuk, pikirkanlah, mungkin itu tuberkulosis. Dan saya mengingatkan tuberkulosis itu bisa disembuhkan, bisa dicegah.
Jadi enggak usah merasa malu dan enggak usah merasa takut. Periksa saja supaya ketahuan cepat. Kalau itu Covid kita bisa kok enggak malu-malu. Eh, gue demam nih. Gua mungkin Covid, mau swab ah, gitu kan? Nah, harusnya hal yang sama terjadi untuk tuberkulosis.
Kenapa ada mindset seperti itu untuk TB?
Karena itu tadi, karena stigma. Diskriminasi. Banyak masih di masyarakat kalau TB dijauhin. Anak-anak enggak diajak main, dikucilkan. Kalau yang kerja, kalau bisa dipecat. Makanya orang takut ketahuan tuberkulosis.
Ada sih perusahaan yang bagus, disuruh istirahat, disuruh berobat. Nanti kalau sudah negatif TB kerja lagi. Ada yang begitu. Itu keren perusahaan kalau begitu ya. Tapi ada juga loh yang nakal-nakal akhirnya lama-lama kontraknya tidak diperpanjang.
Padahal TB kan bisa sembuh. Kalau sudah sembuh, kalau sudah negatif, kalau minum obat sebulan dua bulan sudah negatif, kan sudah enggak menular. Jadi enggak usah takut.
Berarti untuk pencegahan bisa juga dengan banyakin minum vitamin untuk memperkuat sistem imun ya, Prof?
Betul sekali, karena hubungannya terutama adalah dengan daya tahan tubuh atau imunitas. Karena kan kuman TB ada di udara, kita enggak bisa lihat, ya kan? Kemungkinan kita semua bisa menghirup selagi kita bepergian kan? Kita kan enggak bisa milih ah lewat sini yang enggak ada TB-nya, enggak bisa, enggak kelihatan.
Pengalaman soal TB, ada keluarga yang pernah didiagnosa TB paru, sempat batuk-batuk, terus periksa. Gejalanya sama tadi yang seperti profesor bilang gitu ya, demam terus hilang-timbul. Paru-parunya disedot keluar kayak cairan pink gitu. Tapi enggak lama setelah itu malah tulang belakangnya sakit. Kenapa ya, Prof?
Tadi kan saya sempat menjelaskan bahwa kuman TB ini bisa menyerang semua organ tubuh ya. Jadi bisa ke otak, ke tulang, ke selaput paru. Makanya ada cairan tadi itu makanya disedot. Ya itu di luar paru sebetulnya. Tapi dia kenapa bikin batuk? Karena dia di selaput paru, dia mendesak paru, paru terdesak jadi batuk-batuk salah satu kompensasinya ya.
Nah, tapi ingin saya menjelaskan juga nih kepada masyarakat dimana pun tuberkulosisnya, organ manapun yang terjangkit atau terlibat, obatnya sama, OAT atau obat anti tuberkulosis. Yang membedakan hanya durasi pengobatannya. Untuk TB paru biasanya 6 bulan, sementara kalau TB di luar paru biasanya lebih lama. Bisa 9 bulan, bisa 1 tahun, bisa 1,5 tahun, bahkan 2 tahun, tergantung dari beratnya penyakit.
Dan itu mempengaruhi tulang belakang kayak jadi keropos gitu, Prof?
Iya, wah itu sakit banget. Kalau pasien-pasien saya itu sakit saya kasihan banget deh. Sampai jalan saja sakit, kita berdiri sakit, gitu ya. Sudah pakai korset juga sakit. Bahkan ada beberapa pasien yang memerlukan operasi ya, dibersihkan tulangnya.
Kemudian juga ada yang dipasang pen juga. Tapi walaupun sudah operasi, obatnya tetap diminum ya. Jangan merasa oh sudah operasi sembuh, enggak. Tetap perlu obat.
Agak ngeri-ngeri sedap juga ya, Prof?
Enggak apa-apa kok, TB ini bisa disembuhkan dan juga bisa dicegah sebetulnya ya. Jadi pesan saya, kalau Anda punya gejala, segeralah untuk memeriksakan diri. Dan kalau pun terdiagnosis TB, enggak usah panik. Obatnya ada, obatnya ampuh, dan gratis kalau ke fasilitas kesehatan yang milik pemerintah.
Dan minum obat jangan hanya 2 minggu, 2 bulan, gejala hilang langsung berhenti, enggak boleh. Minum obat harus sampai selesai. Jadi kalau 2 bulan atau 2 minggu itu kumannya belum mati semua. Mungkin sebagian mati, sebagian masih lemah, tapi harus sampai kumannya mati semua.
Dan itu butuh waktu, untuk paru 6 bulan ya. Jangan berhenti sebelum 6 bulan atau sebelum ditetapkan oleh dokter untuk berhenti, karena mungkin tahu lagu what doesn't kill you will make you stronger? Nah, jadi kalau obat itu tidak sampai selesai, kumannya kan tidak sampai mati. Doesn't kill ya. Maka kumannya akan menjadi stronger dengan cara bermutasi, menjadi kuman yang lebih kuat dan kebal dengan obat-obat yang terbukti ampuh.
Jadi perlu obat yang lebih keras, dengan efek samping yang lebih banyak, dengan durasi yang lebih lama. Jadi jangan sampai putus obat ya, karena kalau putus obat kemungkinan akan terjadi kebal obat atau resisten dengan obat. Kalau putus cinta lebih gampang ya, tapi kalau putus obat susah.
Batasi Jam Praktik agar Bisa Berkumpul Keluarga
Kalau dilihat-lihat Prof sangat aktif di media sosial ya, tapi lebih sering di Twitter atau X. Kenapa lebih memilih platform ini, Prof?
Saya aktifnya sih lebih setelah Covid, dari pandemi jadi endemi ya. Kalau waktu pandemi saya sibuk banget. Jadi waktu setelah mulai mereda baru saya aktif lagi. Saya punya IG, punya TikTok bahkan, tapi enggak joget-joget ya, lebih edukasi dan juga punya Twitter.
Dulu Twitter-nya sepi, tapi kemudian setelah saya aktif setiap hari, saya posting edukasi-edukasi, saya melihat Twitter ini engagement-nya lebih banyak, banyak komennya. Walaupun kalau bicara vaksin komennya ada yang negatif, tapi enggak apa-apa. Toh banyak yang positif juga.
Dan saya lihat kalau Twitter kan jangkauannya lebih banyak, lebih umum. IG saya kebanyakan sih kayaknya dokter ya atau teman-teman saya. Tapi kalau di Twitter kan umum banget gitu, random. Siapa saja bisa kan? Dan saya senang sih kalau edukasi yang saya sampaikan itu bisa diakses oleh banyak orang.
Dengan kesibukan saat ini yang dijalani, masih sempatkah me time atau berkumpul bersama keluarga, buka puasa bareng keluarga, misalnya?
Buka puasa sih selalu saya usahakan ya, karena saya memang selain bekerja di rumah sakit pemerintah kan saya juga praktik sore ya. Tapi saya dari dulu, dari saya tamat, dari jadi spesialis, saya praktiknya enggak lama-lama. Jam 4 sampai jam 6. Enggak ada tuh saya praktik sampai jam 10 malam, enggak. Dari dulu begitu.
Jadi enggak ngalamin tuh saya yang kelelahan sampai malam, ya kelelahan pikiran sih ada ya. Keren juga kan karena saya anaknya juga banyak ya, anak saya empat. Jadi dari kecil itu saya usahakan masih sempat ya mandikan mereka, pakaikan baju.
Walaupun enggak bisa ngantar tiap hari, sekali-sekali saya usahakan bisa ngantar ke sekolah, gitu ya. Karena saya kerja di rumah sakit, enggak bisa jemput gitu ya. Jadi saya usahakan kita tetap punya waktu dengan keluarga. Yaitu membatasi waktu praktik.
Kalau me time-nya bagaimana, Prof?
Ada sih, me time-nya sih enggak sengaja ya. Kalau anak saya dengar saya di-bully juga nih. Me time-nya, jadi saya kan sering kongres, sering diundang jadi pembicara, atau rapat, kebanyakan sih pembicara ke luar negeri. Nah, kalau ke luar negeri itu kan saya enggak kerja, enggak praktik.
Nah itu setelah rapat selesai, setelah bicara di kongres, ya saya biasanya enggak terlalu banyak jalan-jalan. Kadang-kadang saja. Jadi saya lebih banyak di hotel saja, me time telpon-telponin, kadang-kadang ya neleponin anak, nelepon teman-teman, tapi me time-nya di situ di kamar hotel.
Tapi enggak sering juga kan. Pergi kongresnya kan ya sekali-sekali juga. Tapi saya merasakan namanya ini me time saya nih. Kalau di rumah enggak bisa me time, ada anak 4 orang ya. Kalau kongres di Jakarta juga kan sorenya harus praktik. Setelah kongres jadi pembicara sejam, balik ke kerja. Balik ke rumah sakit. Enggak ada me time. Terus saja berinteraksi dengan orang. Jarang sih saya me time, me time-nya mahal.
Sebagai seorang peneliti dan dokter, bagaimana Prof melihat peran perempuan di dunia yang sedang digeluti, adakah diskriminasi?
Saya enggak merasa ada diskriminasi terhadap perempuan ya, mungkin ada sih sedikit ya kalau profesi tertentu. Misal profesi ini bagusnya laki-laki, profesi tertentu ini bagusnya perempuan. Tapi sedikit yang saya rasakan. Tapi mungkin karena profesi saya dokter, sepertinya enggak terlalu ada diskriminasi.
Tapi saya memang menyadari pada kondisi-kondisi tertentu, pada profesi-profesi tertentu, diskriminasi terhadap perempuan mungkin masih ada, tapi enggak terlalu kental. Tapi saya lihat sih untuk Indonesia enggak terjadi, enggak terlalu menjadi big deqal ya.
Karena buktinya yang jadi dokter banyak perempuan, iya kan? Kerja kantoran banyak perempuan, di bank banyak perempuan, yang nyetir perempuan banyak. Ada kan, dulu di negara Arab katanya perempuan enggak boleh nyetir. Di Indonesia keren banget, kita negara muslim perempuannya pada nyetir, ya kan?
Jadi menurut saya mungkin ada sedikit diskriminasi, tapi mungkin enggak terlalu banyak juga. Dan kemudian saya juga menyadari, saya kan orang Padang ya. Orang Padang itu kan matriarkat, artinya perempuan mengambil peran yang penting. Walaupun sekarang sih sudah enggak jelas lagi, matriarkatnya sudah sama saja gitu ya.
Jadi pada titik mana saja ada diskriminasi terhadap perempuan?
Kalau saya baca-baca dan saya juga kalau ke daerah-daerah memang banyak juga sih. Jadi kalau mungkin, saya akan koreksi sedikit tentang pernyataan bahwa di Indonesia diskriminasinya sedikit, tapi mungkin memang banyak perempuan di Indonesia tidak beruntung terutama di bidang pendidikan.
Kalau kita lihat ke desa-desa banyak sekali anak-anak perempuan yang sekolahnya enggak tinggi, mungkin cuma tamat SD sehingga tidak mendapatkan ekspos terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan juga terhadap pekerjaan yang lebih baik, begitu ya.
Jadi saya sih tetap mengimbau supaya kaum perempuan memperhatikan anak-anak perempuannya untuk diberikan keleluasaan untuk sekolah setinggi-tingginya, dan diberikan keleluasaan untuk menjalani profesi yang seluas-luasnya.
Kalau kita bicara kota besar itu enggak terlalu terlihat. Tapi kalau di kota-kota kecil atau di perkampungan memang masih banyak kita lihat bahwa anak-anak perempuan itu tidak mendapatkan haknya untuk sekolah setinggi mungkin.
Tapi lebih juga karena masalah ekonomi sebetulnya. Jadi masalah ekonomi membuat anak perempuan lebih tertinggal daripada anak laki-laki. Kadang anak laki-laki yang didahulukan kan, karena memang ada keterbatasan uang dari orangtuanya.
Oke Prof, Lebaran sebentar lagi, akan mudik ke Padang?
Dulu saya sering mudik karena masih ada orangtua, masih ada Ibu saya. Saya tuh kangen masakan Ibu saya. Kangen berinteraksi dengan keluarga-keluarga di kampung saya. Tapi seiring dengan kesibukan dan juga di Padang itu makin macet, sepertinya tidak mudik.
Bayangkan, kalau misalnya dari Padang ke Bukit Tinggi yang biasanya satu setengah jam, dua jam, itu bisa 5 jam, 7 jam karena semua orang pulang kampung dan bawa mobil. Wah itu macetnya luar biasa. Jadi saya sekarang kadang-kadang mensiasatinya dengan mudiknya setelah Lebaran. Mungkin dua minggu setelah Lebaran yang mungkin orang juga sudah pada balik, ya.
Tapi rutin pulang kampung ya, Prof?
Enggak selalu setiap tahun, karena dengan profesi saya kadang-kadang saya bisa pulang ke Padang karena pekerjaan. Misalnya ada seminar, ada rapat, tapi sih paling sehari. Ada yang pulang-pergi, ada yang menginap semalam. Kalau disediakan hotel biasanya saya menolak, saya menginap di rumah saya saja.
Advertisement