Liputan6.com, Jakarta - Psikolog anak Seto Mulyadi menyatakan prihatin dengan pengaruh negatif game maupun konten lain yang mengandung unsur kekerasan. Menurut Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu, kekerasan yang marak terjadi di kalangan anak, bisa dipicu oleh game yang mengandung tayangan kekerasan.Â
Kak Seto menyorot, bullying saat ini sudah bukan ejekan atau verbal saja, tetapi sudah dalam bentuk kekerasan fisik. Bahkan dalam beberapa kasus sudah sangat tidak manusiawi.
Baca Juga
Seto juga menyebut kasus geng motor yang berujung kekerasan saling serang. Kondisi itu dinilainya mirip sekali dengan adegan atau tayangan di sejumlah game atau film.
Advertisement
Untuk itu Seto berharap pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo (Kemkominfo), harus segera bertindak tegas melindungi anak-anak. Game maupun konten digital yang mengandung unsur kekerasan harus dibersihkan.
"Kominfo punya sumber daya untuk melakukan itu. Jangan sampai terlambat," jelasnya melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.
Selain unsur kekerasan, konten negatif lain seperti pornografi dan radikalisme juga harus dijauhkan dari anak-anak.
Anak Perlu Rangsangan Positif
Pria yang akrab disapa Kak Seto itu menuturkan dalam perkembangannya, anak membutuhkan rangsangan positif. Hal ini agar anak bisa membangun karakter baik seperti berakhlak mulia, gotong royong, kompak, dan sejenisnya. Karakter-karakter positif tersebut, menurut Seto bisa tumbuh dari konten atau sumber yang dikonsumsi.
"Bisa dari buku, lagu, tayangan televisi, sampai dengan game," katanya di Jakarta pada Kamis (11/3).
Namun, jika konten-konten tersebut memiliki unsur kekerasan, yang tumbuh pada anak-anak bukan karakter yang positif. Justru sebaliknya, yang tumbuh adalah karakter negatif.
Â
Â
Â
Â
Bahaya Game Online Bergenre Battle Royale
Sementara itu, Psikolog Stenny Prawitasari pun mengungkapkan game online bergenre battle royale memiliki dampak negatif yang signifikan pada kesehatan mental dan emosional anak-anak.
"Game seperti Free Fire mengandung adegan kekerasan yang intens, termasuk pertempuran dan penggunaan senjata. Bermain game semacam ini secara berulang dapat membuat anak-anak menjadi desensitisasi terhadap kekerasan, di mana mereka mungkin menjadi kurang peka terhadap konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan," tuturnya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi antara bermain game kekerasan dan peningkatan agresi pada anak-anak. Dalam lingkungan yang kompetitif seperti game bergenre battle royale, anak-anak mungkin lebih rentan terhadap perilaku agresif, seperti berkata kasar atau mengekspresikan kemarahan saat kalah dalam permainan.
"Ini juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan keterampilan sosial dan kemampuan berkomunikasi anak-anak," imbuhnya.Â
Â
Advertisement
Perlu Perhatian Serius dari Pemerintah
Stenny menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap permasalahan dampak game online pada anak-anak. Hal ini memerlukan upaya untuk memperketat regulasi dan aturan yang mengatur penggunaan game online, khususnya bagi kalangan anak-anak.
"Pentingnya regulasi bertujuan juga terhadap kesehatan mental dan emosional anak-anak. Pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten game yang mengandung kekerasan dan tidak sesuai dengan usia anak perlu diperkuat untuk melindungi generasi mendatang dari potensi dampak negatif."
Peran Orangtua Jaga Kesehatan Mental Anak
Menurutnya tidak hanya pemerintah, peran orangtua juga sangat vital dalam menjaga kesehatan mental anak-anak dalam bermain game online. Orangtua perlu terlibat secara aktif dalam memantau dan mengatur waktu bermain game anak-anak, serta memberikan pengarahan yang tepat tentang konten yang aman dan sesuai dengan usia mereka.
"Dengan kerjasama antara pemerintah yang lebih tegas dalam regulasi dan peran aktif orangtua dalam mendidik anak-anak tentang penggunaan game online yang bertanggung jawab, diharapkan dapat diciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi perkembangan anak-anak di era digital ini."
Advertisement