Liputan6.com, Jakarta - Al-Quran menegaskan bahwa status anak angkat tidak sama dengan anak kandung. Hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat hanya sebatas pengasuhan, tanpa mencakup hubungan nasab atau garis keturunan.
Hal ini dijelaskan secara eksplisit dalam Q.S Al-Ahzab [33:], yang berbunyi:
Baca Juga
ْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ
Advertisement
Artinya : "Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung-mu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)."
Menurut Al-Wahidi dalam Tafsir al-Wasith halaman 171, anak angkat adalah orang yang mengaku sebagai anak dari orang lain, dan orang itu juga mengakuinya.
Lebih lanjut, ayat ini turun sebagai respons terhadap tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang Yahudi bahwa Rasullah SAW menikahi istri dari anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah, seperti dikutip dari NU Online pada Mingu, 14 April 2024.
Tuduhan tersebut tidak tepat karena meskipun Rasulullah SAW telah mengadopsi Zaid bin Haritsah, Zaid bukanlah anak kandungnya.
Oleh karena itu, pernikahan Rasullah SAW dengan Zainab binti Jahsy tidak melanggar syariat Islam.
نزلت في زيد بن حارثة تبناه رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كالعادة التي كانت في العرب في الجاهلية، فلما تزوج زينب بنت جحش -وكانت امرأة زيد- قالت اليهود والمنافقون: تزوج محمد امرأة ابنه، فأنزل الله هذه الآية إبطالًا لما قالوا وتكذيبًا لهم أنه ابنه. وهذا قول ابن عباس ومجاهد وغيرهم
Artinya: "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid bin Haritsah, yang di-adopsi oleh Rasulullah saw sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah. Ketika Rasulullah SAW menikahi Zainab binti Jahsy, yang merupakan istri Zaid, orang-orang Yahudi dan munafik berkata bahwa Muhammad menikahi istri putranya.
Maka Allah SWT menurunkan ayat ini untuk membatalkan apa yang mereka katakan dan mendustakan mereka bahwa Zaid adalah putranya. Ini adalah perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain mereka."
Definisi Anak Angkat dari Kacamata Hukum
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 171 huruf h, anak angkat didefinisikan sebagai anak yang tanggung jawab pemeliharaan sehari-hari, biaya pendidikan, dan lain-lainnya telah beralih dari orang tua asal ke orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.
Putusan pengadilan ini sangat penting untuk memastikan bahwa proses pengangkatan anak dilaksanakan secara sah dan memenuhi semua ketentuan hukum yang berlaku.
Selain itu, keputusan pengadilan juga bertujuan untuk melindungi hak-hak anak angkat, termasuk hak untuk mengetahui identitas orang tua kandungnya.
Advertisement
Nasib Warisan bagi Anak Angkat
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan anak kandung. Beberapa perbedaan utama adalah sebagai berikut:
Hubungan Nasab
Anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya
Hak Waris
Anak angkat secara umum tidak berhak mewarisi harta dari orang tua angkatnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 209 ayat (1) KHI, yang menyatakan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi sesuai dengan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 KHI.
Adapun orang tua angkat yang tidak menerima wasiat dapat diberikan wasiat wajibah paling banyak 1/3 dari harta warisan anak angkatnya jika hal ini diwasiatkan.
Anak Angkat Masih Berhak atas Warisan
Dalam hukum Islam, ahli waris adalah individu yang secara hukum berhak menerima bagian dari harta warisan seseorang yang telah meninggal, berdasarkan hubungan darah, nasab, atau keturunan.
Anak angkat tidak secara otomatis termasuk sebagai ahli waris karena tidak memiliki hubungan biologis dengan orang tua angkatnya.
Namun, anak angkat masih dapat menerima bagian warisan melalui apa yang disebut 'wasiat wajibah'.
Wasiat wajibah adalah suatu ketentuan yang memungkinkan seorang individu untuk meninggalkan sebagian dari hartanya kepada seseorang yang tidak termasuk dalam daftar ahli waris formal.
Dalam konteks anak angkat, Pasal 209 ayat (2) KHI menyebutkan bahwa anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah hingga maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Ini memungkinkan anak angkat untuk tetap menerima bagian dari harta meskipun bukan sebagai ahli waris secara langsung.
Informasi ini juga diperkuat oleh Syekh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya "al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu", Jilid VIII, halaman 122.
بُيِّنَتْ أَنَّ الوَصِيَّةَ لِلأَقَارِبِ مُسْتَحبَّةٌ عِنْدَ الجُمْهُور مِنْهُمْ أَئِمَّةُ المَذَاهِبِ الأَرْبَعَةِ وَلاَ تَجِبُ عَلَى الشَّخْصٍ إِلاَّ بِحَقٍّ للهِ أَوْ لِلْعِبَادِ. وَيَرَى بَعضُ الفُقَهَاءِ كَابْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِى وَأَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ العَزِيْز مِنَ الحَنَابِلَةِ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ وَاجِبَةٌ دِيَانَةٌ وَقَضَاءٌ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ الذِيْنَ لاَ يَرِثُونَ لِحَجْبِهِمْ عَنِ المِيْرَاث… إِلَى أنْ قَالَ: وَقَدْ أَخَذَ القَانُونُ المِصْرِ وَالسُّوْرِىِّ بِالرَّأيِ الثَانِى.
Artinya : "
Telah dijelaskan bahwa wasiat untuk kerabat adalah sunnah menurut jumhur ulama, termasuk imam-imam madzhab yang empat.
Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali untuk hak dari Allah atau bagi hak hamba.
Dan, sebagian ulama fikih, seperti Ibnu Hazm al-Zahiri dan Abu Bakar bin Abd al-Aziz dari mazhab Hanbali, berpendapat bahwa wasiat adalah wajib secara agama dan pembayaran kewajiban untuk orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi karena terhalang dari mewarisi… hingga pengarang berkata: Dan hukum Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat kedua.
Advertisement