Liputan6.com, Jakarta Hasil skrining Kementerian Kesehatan RI soal gejala depresi yang dialami 2.716 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) tengah menjadi perbincangan hangat.
Dari 12.121 mahasiswa PPDS yang bertugas di 28 rumah sakit vertikal, 22,4 persen mengalami gejala depresi.
Baca Juga
Menurut Ketua Junior Doctors Network (JDN) Indonesia, Tommy Dharmawan, salah satu faktor yang menyebabkan depresi pada PPDS adalah tidak adanya pemasukan. Terkait hal ini, Tommy merekomendasikan agar peserta PPDS untuk mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat ia bekerja.
Advertisement
Ada alasan para calon dokter spesialis ini perlu digaji.
“Kenapa gaji ini sangat penting? Karena para PPDS ini ada di rentang usia dewasa di mana mereka rata-rata sudah umur 30, sudah berkeluarga, sehingga ya memang mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari,” kata Tommy dalam temu media secara daring bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jumat (19/4/2024).
Dia menambahkan, para PPDS di seluruh dunia mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat mereka bertugas. Di Malaysia, calon dokter spesialis digaji dengan nominal sekitar Rp15 juta. Sementara itu, di negara maju seperti Singapura peserta PPDS digaji 2.650 dollar Singapura.
Sementara itu, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memberikan gaji pada para PPDS.
“Indonesia ini adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memberikan gaji untuk para PPDS. Padahal di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 sudah dicantumkan bahwa pemerintah wajib memberikan gaji untuk para PPDS,” jelas Tommy.
Salah Satu Sumber Depresi PPDS
Tidak adanya pemberian gaji untuk para PPDS menjadi salah satu sumber depresi, lanjut Tommy.
“Tidak memberi gaji pada PPDS adalah salah satu sumber depresi untuk para PPDS. Jadi, isu ini harus ada solusinya, jangan hanya isu saja.”
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk menangani isu ini menurut Tommy adalah memberikan gaji pada para PPDS.
“Solusi yang pertama adalah memberikan gaji pada para PPDS karena itu adalah sumber depresi mereka.”
Advertisement
Kurangi Beban Kerja PPDS
Selain pemberian gaji, solusi kedua yang dapat dilakukan adalah mengurangi beban kerja PPDS.
“Kenapa? Karena di dunia saja sudah ada working hour regulation untuk para dokter. Terutama untuk para PPDS, jam kerjanya harus dibatasi kurang dari sama dengan 80 jam per minggu.”
Tommy mengerti, para PPDS membutuhkan waktu istirahat yang manusiawi. Di sisi lain, mereka juga butuh waktu belajar.
“PPDS ini pelatihannya bersifat magang sehingga jam terbang yang banyak tentu akan membuat PPDS lebih terlatih dan kualitas pelayanan pada pasien juga baik.”
“Saya kira-kira 8 tahun yang lalu sudah menjadi PPDS jadi saya ngerti bahwa working hours ini memang manusiawi. Bisa dibayangkan kalau lebih dari 80 jam per minggu PPDS ini bekerja, ya tentu saja ngantuk, tentu ada human error.”
Kurangi Beban Administrasi
Solusi ketiga yang perlu dilakukan adalah mengurangi beban administrasi. Di beberapa rumah sakit, beban PPDS tambah berat dengan adanya beban administrasi.
“Misalnya mencatat jumlah operasi atau mencatat database juga mencatat pelayanan yang di-coding-kan untuk BPJS, nah itu kan seharusnya bukan tugas PPDS.”
“Jadi, saran kami ada tiga mengenai masalah depresi ini. Setelah kami melakukan wawancara dan kami alami sendiri selama 6 tahun jadi PPDS di rumah sakit pendidikan, saran pertama adalah berikan gaji kepada PPDS, kedua working hours yang manusiawi, ketiga kurangi atau tiadakan beban administrasi yang mencekik PPDS,” pungkasnya.
Advertisement