Sukses

Apa Itu Ilmu Penyakit Mulut? Kok Banyak Residennya Alami Gejala Depresi?

53,1 Persen Peserta Didik PPDGS Penyakit Mulut Alami Gejala Depresi, Sesusah Apa Ilmu Ini?

Liputan6.com, Jakarta - Hasil skrining kesehatan jiwa yang dilakukan Kemenkes RI menunjukkan bahwa 53,1 persen peserta didik Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) Penyakit Mulut mengalami gejala depresi.

Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Mulut Indonesia (KIPMI), Profesor Irna Sufiawati menyatakan bahwa hasil tersebut memunculkan kebingungan dan berbagai pertanyaan di kalangan akademisi dan praktisi Ilmu Penyakit Mulut.

Irna juga ingin masyarakat lebih mengenal Ilmu Penyakit Mulut, yang merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang mengintegrasikan ilmu kedokteran umum dan kedokteran gigi untuk mencapai kesehatan tubuh individu secara optimal.

"Namun, sayangnya, Ilmu Penyakit Mulut belum begitu dikenal oleh masyarakat luas," kata Irna kepada Health Liputan6.com pada Jumat, 26 April 2024. 

Menurut Irna, penyakit mulut dapat berupa penyakit primer pada rongga mulut, seperti sariawan, trauma, radang jaringan lunak mulut, kanker mulut, dan lain-lain.

Selain itu, penyakit mulut juga dapat menjadi manifestasi dari berbagai kelainan kondisi sistemik, seperti penyakit autoimun, penyakit jantung, penyakit pencernaan, penyakit infeksius seperti HIV, TBC, Sifilis, COVID-19, dan penyakit lainnya.

Dengan meningkatnya kasus penyakit mulut, diperlukan perhatian yang lebih besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

2 dari 5 halaman

Sejarah Ilmu Penyakit Mulut

Ilmu Penyakit Mulut pertama kali dikenalkan oleh Francis P. McCarthy MD., seorang praktisi dokter spesialis kulit (ahli Dermatologi) di Amerika Serikat pada tahun 1925.

Saat ini, sebanyak 33 dari 37 negara (89 persen) di seluruh dunia telah mengakui Ilmu Penyakit Mulut (Oral Medicine) sebagai spesialisasi di bidang Kedokteran Gigi yang berkembang secara aktif. Dan setidaknya ada 22 negara di dunia yang kini memiliki Program Studi Spesialis Penyakit Mulut. 

Sementara di Indonesia, sampai saat ini baru ada empat Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) yang mempunyai PPDGS Penyakit Mulut, yaitu:

  • FKG Universitas Indonesia (1982)
  • FKG Universitas Airlangga (1995)
  • FKG Universitas Padjadjaran (2010), yang terakreditasi A.
  • FKG Universitas Hasanuddin (2022).

Dalam waktu dekat, tepatnya di 2024 ini, Universitas Gadjah Mada juga akan membuka program studi PPDGS Penyakit Mulut. 

3 dari 5 halaman

Masa Studi Program Ilmu Penyakit Mulut

Program studi ini memiliki masa studi antara enam semester atau tiga tahun akademik hingga delapan semester atau empat tahun akademik. Dengan beban studi sekurang-kurangnya 42 SKS dan sebanyak-banyaknya 50 SKS, termasuk mata kuliah inti dan materi lokal (rata-rata 7-8 SKS per semester).

Residen PPDGS Penyakit Mulut menjalani rotasi klinik di rumah sakit selama jam kerja, tanpa melakukan jaga malam.

Sampai saat ini, sekitar 95-100 persen residen PPDGS Penyakit Mulut dari tiga institusi pendidikan berhasil menyelesaikan studinya tepat waktu. Sementara, satu lainnya yakni Universitas Hasanuddin, belum memiliki lulusan.

Rata-rata indeks prestasi kumulatif (IPK) berkisar antara 3,5 – 3,9 (dari skala 0-4, angka 0 merupakan penilaian terendah dan angka 4 merupakan prestasi tertinggi). Bahkan ada lulusan yang meraih IPK 4. 

4 dari 5 halaman

Kerap Raih Penghargaan

Lebih lanjut Irna mengatakan, Residen PPDGS Penyakit Mulut juga seringkali memperoleh berbagai penghargaan dalam kegiatan ilmiah. Baik pada skala nasional maupun internasional.

“Publikasi karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional bereputasi yang dihasilkan oleh para dosen dan residen PPDGS PM di semua Institusi Pendidikan di Indonesia terus mengalami peningkatan,” papar Irna.

Selain itu, mereka secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, seni, dan kegiatan non akademik lainnya yang diadakan baik oleh institusi masing-masing, organisasi profesi, serta oleh rumah sakit yang menjadi wahana pendidikannya.

Setiap institusi pendidikan yang menyelenggarakan PPDGS IPM, mempunyai tujuan menghasilkan lulusan yang memiliki profil sebagai profesional dalam penyediaan dan pengelolaan layanan perawatan gigi dan mulut, klinisi, akademisi, konselor, peneliti, dan inovator di bidang penyakit mulut.

5 dari 5 halaman

Jumlahnya Masih Sangat Terbatas

Sampai saat ini, KIPMI mencatat sebanyak 228 dokter gigi spesialis penyakit mulut (drg., Sp.PM) telah membaktikan dirinya dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dari Sumatera sampai Papua.

Jumlah dokter gigi Sp.PM ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dokter gigi spesialis lainnya dan sangat belum cukup untuk kebutuhan di rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia.

Dengan jumlah yang sangat terbatas ini, mereka terjun langsung ke masyarakat dan terus menunjukkan prestasi di berbagai kegiatan tingkat nasional dan internasional, bahkan pada skala global. 

Dengan mempertimbangkan durasi dan beban studi dalam PPDGS Penyakit Mulut, serta aktivitas dan prestasi para residen dan lulusan, hasil survei Kemenkes di atas menimbulkan pertanyaan yang mendalam.

“Dampak dari hasil survei terhadap pendidikan dokter dan dokter gigi spesialis tentunya perlu diperhatikan secara cermat, yang dapat menimbulkan dampak negatif seperti menurunnya minat calon peserta didik untuk mengikuti program studi dokter/dokter gigi spesialis, khususnya di bidang Ilmu Penyakit Mulut,” ujar Irna.

Irna juga menegaskan bahwa KIPMI akan terus melakukan evaluasi terhadap Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Penyakit Mulut Indonesia, dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas lulusan.

“KIPMI menggarisbawahi pentingnya suatu riset untuk memiliki tujuan yang jelas, terutama dalam melaksanakan suatu survei yang melibatkan partisipasi manusia sebagai subjek. Metode riset juga haruslah tepat untuk memperoleh data yang valid.”

“Serta mematuhi prinsip etika penelitian dari awal riset hingga publikasi hasilnya (yaitu menghormati dan menghargai harkat martabat manusia sebagai subjek penelitian, menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian, memegang prinsip keadilan dan kesetaraan, serta memperhitungkan dampak positif maupun negatif dari penelitian,” pungkasnya.