Sukses

5 Negara yang Tidak Menjadikan Sunat sebagai Kewajiban, Bahkan Ada yang Melarang

Beberapa Negara di Dunia Tak Menjadikan Sunat sebagai Kewajiban

Liputan6.com, Jakarta - Sunat adalah prosedur bedah yang mengangkat kulup, kulit yang menutupi ujung penis. Praktik ini dilakukan atas berbagai alasan, termasuk budaya, agama, kebersihan, dan penampilan.

Biasanya, sunat dilakukan pada bayi laki-laki dalam 10 hari pertama setelah kelahiran, seringkali di rumah sakit oleh dokter. Sebelum prosedur dilakukan, orang tua diberitahu mengenai prosedur dan risiko yang terkait.

Meskipun demikian, sunat juga bisa dilakukan pada anak laki-laki atau pria dewasa, dengan prosedur yang mungkin berbeda.

Menurut Kids Health, sunat memiliki beberapa manfaat, antara lain:

  • Mengurangi risiko HIV dan penyakit menular seksual (PMS) lainnya: Orang yang disunat memiliki risiko lebih rendah terkena HIV dan PMS lain saat dewasa.
  • Mencegah infeksi saluran kemih (ISK): Sunat dapat membantu mencegah ISK, terutama pada bayi laki-laki.
  • Menurunkan risiko kanker penis: Meskipun kanker penis jarang terjadi, sunat dapat membantu mengurangi risikonya.
  • Menjaga kebersihan penis: Sunat membuat penis lebih mudah dibersihkan, mengurangi risiko iritasi, peradangan, atau infeksi.

Di Indonesia, sunat sudah menjadi hal yang umum dan bahkan diwajibkan oleh beberapa golongan agama. Namun, di negara lain, sunat dianggap sebagai keputusan pribadi dan tidak biasa dilakukan. Beberapa negara bahkan melarang sunat dengan alasan tertentu.

Berikut beberapa negara yang tidak mengharuskan sunat untuk laki-laki.

2 dari 5 halaman

1. Jerman

Pada Mei 2012, Jerman mengeluarkan larangan terhadap sunat anak-anak karena dianggap merusak tubuh. Dikutip dari NBC News pada Sabtu, 27 April 2024, keputusan ini dipicu oleh insiden sunat yang gagal pada seorang anak berumur 4 tahun, yang menyebabkan cedera serius.

Larangan ini memicu protes dari komunitas Muslim dan Yahudi, yang memang mengharuskan setiap pria untuk disunat.

Setelah protes dan banding, Parlemen Jerman akhirnya menyetujui undang-undang baru pada Desember 2012.

Undang-undang tersebut memperbolehkan sunat laki-laki atas dasar keagamaan, asalkan dilakukan oleh dokter atau ahli sunat.

Ini adalah langkah untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan anak dan kebebasan beragama.

 

 

 

3 dari 5 halaman

2. Islandia

Pada tahun 2018, Islandia mencoba untuk menjadi negara Eropa pertama yang melarang sunat laki-laki. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin agama Yahudi dan Islam di seluruh Eropa, karena sunat adalah bagian penting dari ritual keagamaan mereka.

Rancangan undang-undang yang diajukan di parlemen Islandia mengusulkan hukuman hingga enam tahun penjara bagi siapa pun yang melakukan sunat pada anak laki-laki tanpa alasan medis.

Para pendukung larangan ini berargumen bahwa sunat melanggar hak-hak anak dan tidak sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak, seperti dikutip dari The Guardian dan NBC News.

Di sisi lain, penentang larangan ini berpendapat bahwa sunat adalah bagian penting dari kebebasan beragama dan budaya. Mereka juga meragukan efektivitas larangan dalam melindungi anak-anak.

Akhirnya, rancangan undang-undang tersebut tidak disetujui. Sehingga, praktik sunat tetap legal di Islandia, meskipun tetap dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa untuk dilakukan.

4 dari 5 halaman

3. Jepang

Dilansir dari Food Diversity, bagi orang tua Muslim yang tinggal di Jepang, menemukan rumah sakit untuk menyunat bayi laki-laki mereka dapat menjadi hal yang sulit.

Walaupun tidak dilarang oleh pemerintah, banyak rumah sakit/klinik di Jepang tidak menerima sunat karena alasan agama/budaya.

Oleh karena itu, terdapat beberapa rekomendasi agar menyunat bayi laki-laki Muslim sesegera mungkin, karena di negara minoritas Muslim seperti Jepang, meyakinkan anak untuk sunat saat mereka sudah lebih besar bisa lebih sulit, terutama jika teman-temannya yang kebanyakan non-Muslim tidak melakukannya.

5 dari 5 halaman

4. China

Di China, sunat tidak umum dilakukan seperti di negara lain. Di sini, sunat biasanya dilakukan sebagai tindakan medis untuk mengobati penyakit tertentu, bukan sebagai ritual budaya atau agama.

Hanya sekitar 2,66 persen laki-laki di China yang disunat, menurut data dari BMC Public Health. Praktek sunat pada bayi juga tidak umum, kecuali di kalangan minoritas Muslim yang jumlahnya kurang dari 3 persen dari populasi China.

Penyebab jarangnya praktek sunat di China masih belum sepenuhnya dipahami. Namun, beberapa faktor mungkin termasuk tidak adanya tradisi sunat, mayoritas penduduk non-Muslim, dan kepercayaan bahwa sunat bisa membahayakan kesehatan atau kejantanan.

Meskipun tidak umum, sunat masih tersedia sebagai pilihan medis bagi mereka yang membutuhkan di China.