Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah kamu merasa bingung saat berkomunikasi dengan pasangan? Di saat kamu ingin menunjukkan perhatian dan kasih sayang, pasangan justru terlihat marah atau tertekan? Atau, saat berusaha menyelesaikan masalah, pasangan kamu malah memilih untuk menghindar?
Jika ya, kamu tidak sendirian. Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasangannya, terutama saat mereka sedang dilanda stres.
Baca Juga
Love Language, konsep yang populer untuk memahami cara seseorang mengungkapkan dan menerima cinta, mungkin tidak selalu cukup untuk mengatasi situasi ini. Di sinilah Stress Language berperan penting.
Advertisement
Stress Language adalah cara seseorang bereaksi dan berkomunikasi saat mereka sedang stres. Dengan memahami Stress Language pasangan kamu, kamu dapat belajar bagaimana berkomunikasi dengan lebih efektif, membangun hubungan yang lebih kuat, dan menghindari kesalahpahaman.
Dampak Stres Pada Hubungan
Stres bukan hanya berbahaya bagi kesehatan mental dan kesejahteraan kita, tetapi juga dapat merusak hubungan. Dilansir dari The Every Girl, ketika stres melanda, energi dan sumber daya kita terkuras, yang berakibat pada:
- Kurang kesabaran: Kita menjadi lebih mudah marah dan tersinggung.
- Kurang libido: Hasrat untuk berhubungan intim menurun.
- Penarikan diri: Kita lebih memilih untuk menghindari pasangan.
- Pertengkaran dan konflik: Kita lebih mudah bertengkar dan menyalahkan pasangan.
Akibatnya, keintiman dan dukungan emosional dalam hubungan berkurang. Komunikasi pun menjadi terhambat, menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara kita dan pasangan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahasa stres pasangan agar mengetahui cara yang tepat untuk menghadapinya. Berikut ini 5 jenis Stress Language.
1. The Fixer
Pernahkah kamu bertemu orang yang selalu ingin "membantu" saat stres? Orang-orang dengan Stress Language ini, berusaha "memperbaiki" situasi tanpa diminta, bahkan saat tidak perlu.Â
Meskipun mereka terlihat membantu dan mampu di luar, mereka seringkali justru lebih banyak memberikan dampak buruk daripada yang baik. Mereka bisa saja melanggar batas, menjadi mengomel dan dominan, atau bahkan memperlakukan pasangannya seperti anak kecil.
Contohnya, saat stres, seorang The Fixer mungkin akan memaksa pasangannya memilih pakaian tertentu karena mereka tidak percaya pasangannya bisa membuat pilihan yang tepat. Pada akhirnya, tidak jarang mereka lebih terlihat seperti "mengontrol", bukan "membantu."
Perilaku ini bisa berbahaya bagi hubungan karena dapat membuat pasangan merasa tertekan, dikendalikan, dan tidak dihargai.Â
Advertisement
2. The Denier
Seorang Penyangkal adalah orang-orang yang menyebarkan toxic positivity, bahkan pada diri mereka sendiri. Mereka memilih untuk melihat sisi positif dalam segala situasi, bahkan ketika sedang dilanda kesulitan. Alih-alih mengelola emosi negatif mereka dengan sehat, mereka akan menekan dan meminimalkannya.
Selain itu, mereka mungkin memiliki mentalitas "abaikan sampai masalah itu hilang" dan bertindak seolah-olah masalah itu tidak ada.
Sikap ini bisa berbahaya bagi hubungan karena dapat membuat pasangan merasa tidak didengarkan, diabaikan, dan tidak dihargai. Penting untuk mengenali tanda-tanda Stress Language ini dan mendorong pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur tentang perasaan mereka.Â
3. The Numb-er
Saat stres melanda, semua orang ingin melarikan diri sesekali. Namun, orang-orang dengan Stress Language ini memilih untuk meredam stres mereka dengan distraksi. Alasannya sederhana: jika mereka tidak memikirkannya, stres tidak akan bisa menyakiti atau menghancurkan mereka.
Sayangnya, strategi ini keliru. Orang-orang dengan Stress Language ini cenderung menggunakan cara-cara seperti:
- Mengonsumsi alkohol atau zat terlarang.
- Menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar (telepon, komputer, atau TV).
- Bekerja berlebihan.
Perilaku ini bisa berbahaya bagi hubungan karena dapat menyebabkan kecanduan, masalah kesehatan, dan pengabaian terhadap pasangan.Â
Advertisement
4. The Exploders
Pernahkah kamu melihat orang yang bereaksi dengan marah dan agresif saat stres? Orang-orang dengan Stress Language ini, memiliki respons "bertempur atau lari" terhadap stres. Otak mereka menandakan bahaya, dan mereka meresponsnya dengan "meledak" pada pasangan mereka.
Orang-orang ini menjadi mudah marah, agresif, dan kritis. Mereka cepat menyalahkan orang lain atau sesuatu atas masalah yang mereka hadapi.
Contoh perilaku mereka termasuk:
- Kemarahan reaktif: Mereka mudah marah dan kehilangan kendali.
- Paranoia: Mereka menjadi curiga dan tidak percaya pada orang lain.
- Pemikiran kacau: Mereka sulit berpikir jernih dan membuat keputusan yang rasional.
- Meninggalkan percakapan: Mereka tiba-tiba pergi di tengah percakapan saat merasa frustrasi.
- Menyalahkan pasangan: Mereka menyalahkan pasangan mereka atas stres yang mereka alami.
Sikap ini bisa sangat berbahaya bagi hubungan karena dapat membuat pasangan merasa takut, terancam, dan tidak dihargai.Â
5. The Imploder
Berbeda dengan The Exploder yang agresif, orang-orang dengan Stress Language ini justru memendam stres mereka dalam diri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri atas stres yang mereka alami, yang memicu banyak kritik diri dan rasa malu.
Contoh perilaku mereka termasuk:
- Menyalahkan diri sendiri: Mereka terus menerus menyalahkan diri sendiri atas segala hal yang salah.
- Merendahkan diri: Mereka berbicara atau berpikir negatif tentang diri mereka sendiri, seperti "Saya tidak pernah bisa melakukan apa pun dengan benar," "Saya bodoh sekali," atau "Semua selalu salah saya."
Advertisement
Memahami Stress Language Kamu dan Pasangan
Tanpa bantuan ahli, kamu juga bisa memahami Stress Language kamu dan pasangan.
Perhatikan bagaimana kamu dan pasangan merespon saat stres, apakah kamu cenderung diam, marah, menyangkal, bertindak impulsif, atau menyalahkan diri sendiri. Tanyakan pendapat pasangan tentang cara kamu mengatasi stres, mereka mungkin melihat hal yang tidak kamu sadari.
Setelah memahami bahasa stres masing-masing, bicarakan secara terbuka dengan pasangan. Sadarilah bahwa orang bisa memiliki campuran Stress Language, seperti bahasa cinta.
Situasi berbeda bisa memicu respons stres yang berbeda. Komunikasi terbuka akan membantu kamu memahami satu sama lain dan tumbuh sebagai pasangan.
Stress Language bukan untuk mengkritik atau menghakimi, melainkan untuk memberi pemahaman. Berusahalah bersama untuk lebih sadar terhadap reaksi masing-masing terhadap stres.
Hal ini akan membantu memahami tanda-tanda peringatan dan apa yang harus dilakukan saat stres melanda, sehingga kamu dan pasangan bisa mengambil jeda dan pemecahan masalah sebelum terlambat.