Liputan6.com, Jakarta Gelombang panas tengah melanda beberapa negara di Asia termasuk Thailand. Di negara Gajah Putih, suhu mencapai 40 derajat Celsius dengan heat index (kombinasi antara unsur suhu dan kelembapan) mencapai 52 derajat Celsius.
Bahkan, fenomena cuaca ekstrem ini telah menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Korban mengalami heatstroke yang tercatat dari tanggal 1 Januari sampai 17 April 2024. Indeks panas mengungkap bahwa suhu telah mencapai tingkat yang "sangat berbahaya."
Baca Juga
Melihat situasi ini, warga lokal dan wisatawan disarankan untuk tinggal di dalam ruangan dalam waktu lama untuk mencegah sengatan panas.
Advertisement
Wakil Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Penyakit Thailand mengimbau para lansia dan mereka yang memiliki kondisi medis, termasuk obesitas, untuk tetap berada di dalam rumah dan minum air secara teratur. Hal ini disampaikan pada AFP, dilansir dari Says, Senin (29/4/2024).
Terkait masalah ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin turut memberi tanggapan. Menurutnya, kenaikan suhu selalu terjadi secara musiman. Maka dari itu, penanganan yang dilakukan tidak berubah dari tahun ke tahun.
“Jadi penanganan karena kenaikan suhu itu kita tangani nggak ada yang berubah. Di Indonesia sendiri kita tidak melihat ada kenaikan suhu yang tinggi, kalau saya boleh bilang, yang penting buat kita monitoringnya aja,” kata Budi Gunadi saat ditemui dalam peresmian Proyek Green Climate Fund (GCF) di Jakarta Selatan, Senin (29/4/2024).
Bukan Cuma Suhu yang Berubah
Budi juga menilai bahwa perubahan bukan hanya terjadi pada suhu udara tapi juga kenaikan permukaan air laut.
“Yang berubah bukan hanya kenaikan suhu saja, ada yang bilang permukaan laut naik, ada yang bilang nanti radiasi UV-nya naik, nah aku bilang ke teman-teman yuk kita prioritasin mana sih yang paling memiliki dampak kesehatan yang paling besar, nah itu yang kita fokuskan untuk kita tangani,” ujar Budi.
Budi menggarisbawahi, kenaikan suhu bukan satu-satunya masalah saat ini. Namun, ada pula radiasi, air, hingga vektor atau binatang penyebar penyakit.
“Binatang kan perilakunya berubah itu yang menyebabkan pandemi juga.”
Advertisement
Perubahan Iklim Ubah Interaksi Hewan dengan Manusia
Sebelumnya, Budi menyampaikan bahwa perubahan iklim memang memiliki dampak besar bagi kesehatan manusia. Termasuk berkontribusi pada peningkatan penyakit menular dan tidak menular.
“Kita lihat dampaknya kelak perubahan iklim ini pada, satu penyakit menular, kedua penyakit tidak menular. Penyakit menular saya kasih contoh, perubahan iklim akan membuat interaksi hewan dan manusia tuh berubah. Karena hutannya habis, jadi lebih panas, mereka yang tadinya enggak pernah ketemu manusia jadi ketemu manusia,” papar Budi.
Dia menambahkan, hampir semua pandemi berasal dari hewan. Misalnya, Asian Bird Flu dari burung dan COVID-19 yang disebut-sebut dari kelelawar.
“Semakin sering perubahan interaksi itu terjadi, makin besar kemungkinan akan terjadi the next pandemi,” ucapnya.
Cegah Sebelum Menular ke Manusia
Lebih lanjut, Budi menyatakan bahwa skrining seharusnya dilakukan pada semua hewan yang kemungkinan besar terkena climate change dan berinteraksi dengan manusia.
“Kita screen dulu patogennya, virusnya, bakterinya apa yang bahaya. Nah kalau bisa diteliti di level hewan vaksinnya apa, obatnya apa, diagnostiknya apa. Karena kalau nunggu lompat ke manusia udah telat dan lebih mahal juga (penanganannya).”
Contoh lain, perubahan iklim dapat mengubah perilaku semua makhluk hidup termasuk nyamuk.
“Nyamuk misalnya, sekarang lagi banyak demam berdarah. Kita udah tahu nih setiap kali ada El Nino, fenomena El Nino itu perubahan iklim, itu denguenya naik. Nah sekarang El Nino-nya bisa jadi lebih sering, kalau lebih sering, denguenya juga jadi naik,” jelas Budi.
Advertisement