Liputan6.com, Jakarta - Menyambut Hari Buruh atau May Day yang jatuh pada 1 Mei 2024, dokter komunitas Ray Wagiu Basrowi membahas soal kemerdekaan laktasi bagi pekerja perempuan.
Menurutnya, buruh perempuan Indonesia hampir mencapai angka 40 juta orang. Dan 80 persennya akan hamil dan menjadi ibu menyusui.
Baca Juga
Jika para buruh perempuan mendapatkan cuti tiga bulan, maka mereka akan kembali bekerja saat anaknya masih memerlukan air susu ibu atau ASI. Sementara, pekerja yang tak dapat memberikan ASI eksklusif rentan mengalami kenaikan hormon stres hingga mengganggu produktivitas di tempat kerja.
Advertisement
“Mereka tidak produktif (saat bekerja) karena laktasinya tidak jalan. Nah, dukungan laktasi di tempat kerja sekarang udah bagus belum? Belum, data terakhir dari Kedokteran Kerja FKUI itu masih ada 50 persen, 1 dari 2 pekerja perempuan di Indonesia data 2020 itu masih menyusui dan pompa ASI di toilet loh,” kata Ray kepada Health Liputan6.com saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (30/4/2024).
Data kualitatif juga menunjukkan, 8 dari 10 pabrik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) belum menerapkan program promosi laktasi. Padahal, undang-undangnya sudah ada.
“Nah, yang seperti ini harusnya jadi bagian dari perjuangan buruh. Jangan tinggalin perjuangan kesehatan, itu dampaknya gede banget lho. Dan itu kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi,” jelas pengajar bidang Kedokteran Kerja di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu.
Serikat Buruh Perlu Mulai Perjuangkan Hak Kesehatan Pekerja
Terkait hak-hak kesehatan termasuk hak laktasi di lingkungan kerja, Ray menilai bahwa serikat buruh sudah saatnya bersuara.
Selama ini, aspirasi buruh yang diajukan pada demo atau unjuk rasa setiap satu Mei umumnya fokus pada upah.
“Serikat buruh Indonesia sudah harus mulai bikin perjuangan, enggak cuma upah, tapi kesehatan dan keselamatan kerja,” ucap Ray.
Advertisement
Setiap Perusahaan Perlu Siapkan Ruang Laktasi
Hari Buruh juga menjadi momen yang dapat dimanfaatkan untuk mengingatkan para pemilih perusahaan untuk menyediakan fasilitas ruang laktasi.
“Ruang laktasi wajib (ada di perusahaan) dan dari tahun 2008 itu sudah ada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri. KemenPPPA, Kemenaker, dan Kemenkes, bukan cuma ruang laktasi tapi ruang laktasi yang privasi dan dedicated.”
Artinya, ruang laktasi yang disediakan hanya digunakan untuk keperluan memompa ASI, bukan dicampur dengan fungsi lain misalnya mushola.
“Kenapa? Karena ketika ruang laktasi digunakan juga untuk mushola pria, maka karyawan perempuannya ngungsi. Ke mana? Ke toilet, karena toilet (wanita) itu tidak mungkin dimasuki pria. Nah dia mompa ASI di situ, kan kasihan,” papar Ray.
Perlu Sediakan Konselor Laktasi di Lingkungan Kerja
Tak hanya ruang laktasi, lanjut Ray, peraturan yang dilengkapi Permenkes nomor 15 tahun 2013 jelas menuliskan perlu pula ada program edukasi, promosi, dan konselor laktasi.
“Enggak hanya ruang laktasi yang privasi dan dedicated, tapi juga ada program edukasi, promosi dan kalau karyawannya sudah dalam jumlah yang banyak, itu sudah wajib ada konselor laktasi di tempat kerja. Wajib loh itu.”
Sayangnya, hal ini belum disediakan di banyak perusahaan, bahkan di lingkungan instansi pemerintahan.
“Penelitian saya, kalau satu pabrik bisa menerapkan program promosi laktasi yang adekuat, termasuk edukasi, konselor, dan ruang laktasi yang baik, maka pekerja perempuannya 58 persen berhasil ASI eksklusif. Dan lebih produktif 1,5 hingga 2 kali.”
Dengan kata lain, pekerja perempuan berhasil memberikan ASI eksklusif adalah investasi bagi perusahaan. Pasalnya, pekerja perempuan jadi lebih produktif, target pekerjaan lebih tercapai, dan absen atau ketidakhadirannya jadi lebih sedikit.
Advertisement