Sukses

Mengenal Varian Baru COVID KP.1 dan KP.2, Bikin Kasus COVID-19 Singapura Naik 2 Kali Lipat

Subvarian baru COVID-19 KP.1 dan KP.2 yang memicu kasus naik menjadi 25.900 per 5 sampai 11 Mei 2024.

Liputan6.com, Singapura Kasus COVID-19 di negara tetangga yakni Singapura meningkat. Varian baru COVID-19 KP.1 dan KP.2 yang memicu kasus naik dua kali lipat dari 13 ribuan menjadi 25.900 per 5 sampai 11 Mei 2024.

Menurut Kementerian Kesehatan Singapura, strain virus SARS-CoV-2 yang kini mendominasi penularan di sana adalah subvarian KP.2 dan KP.1. Sekitar dua per tiga kasus infeksi COVID Singapura gegara strain tersebut.

Kedua strain tersebut masuk dalam kelompok varian COVID-19 yang dijuluki FLiRT oleh peneliti. Termasuk juga dalam keturunan JN.1 yang punya kemampuan menyebar cepat di seluruh dunia beberapa bulan lalu.

Kabar baiknya tidak ada indikasi KP.1 dan KP.2 yang menunjukkan bahwa strain tersebut lebih parah dan lebih cepat menyebar dibanding yang lain.

"Saat ini tidak ada indikasi baik global maupun lokal KP.1 dan KP.2 lebih mudah menular atau menyebabkan penyakit yang lebih para dibandingkan varian lain," kata Kementerian Kesehatan Singapura menenangkan pada Sabtu, 18 Mei 2024 seperti mengutip Channel News Asia.

KP.1 dan KP.2 Terdeteksi di China hingga Inggris

Selain Singapura, subvarian KP.1 dan KP.2 telah terdeteksi di banyak negara. KP.2 pertama kali terdeteksi di India pada Januari lalu sampai juga ke Amerika Serikat yang kemudian mendominasi kasus COVID-19 di sana.

Lalu, dua strain itu juga terdeteksi di China, Thailand, India, Australia dan Inggris.

Pada awal Mei 2024, World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan dua strain itu sebagai Variant Under Monitoring (VUM). Ini artinya 'varian yang diawasi atau dimonitor' karena dapat merugikan tetapi belum didukung oleh temuan epidemiologi yang signifikan.

 

2 dari 4 halaman

Gejala KP.1 dan KP.2

Terkait gejala KP.1 dan KP.2 para ilmuwan mengatakan bahwa tidak ada yang baru. Alias mirip dengan gejala COVID-19 dari strain yang lain seperti disampaikan Andy Pekosz, PhD, seorang profesor di bidang molecular microbiology dan immunology.

"Kami tidak melihat sesuatu yang baru atau berbeda dengan varian ini. Kita terus melihat lebih banyak penyakit ringan, tapi kemungkinan besar hal ini bukan karena virusnya lebih ringan, tapi karena kekebalan kita jauh lebih kuat sekarang," mengutip laman Johns Hopkins BLoomberg School of Public Health.

Periode penularan varian FLiRT ini tetap sama dengan JN.1 dan varian Omicron sebelumnya. Setelah terpapar, mungkin diperlukan waktu lima hari atau lebih sebelum Anda mengalami gejala. Meski begitu, bisa saja gejala mungkin muncul lebih cepat.

Pekosz mengatakan penularan ke orang lain bisa terjadi dua hari sebelum Anda mengalami gejala dan beberapa hari setelah gejala mereda.Seperti varian sebelumnya, beberapa orang mungkin memiliki virus hidup yang terdeteksi hingga seminggu setelah gejalanya muncul.

3 dari 4 halaman

Puncak Kasus COVID-19 di Singapura Diprediksi Juni

Melihat tren kasus yang saat ini ada, Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung memprediksi puncak kasus bakal terjadi pada pertengahan hingga akhir Juni 2024.

"Puncak kasus gelombang ini terjadi dalam dua hingga empat pekan mendatang yang artinya antara pertengahanan hingga akhir Juni," kata Ong Ye Kung mengutip The Straits Time, Minggu, 19 Mei 2024.

Di tengah kenaikan kasus terlihat juga peningkatan orang yang masuk rumah sakit karena COVID-19. Rata-rata 181 orang dirawat di RS karena COVID-19 per minggu tapi menjadi 250 orang per minggu.

Untungnya, orang yang masuk ICU masih rendah. Hanya disebut 'meningkat sedikit dari dua ke tiga per harinya'.

4 dari 4 halaman

RS di Singapura Diminta Siap-Siap

Bila kasus COVID-19 naik hingga dua kali lipat dari angka saat ini artinya bakal ada 500 pasien yang dirawat di rumah sakit. Jumlah tersebut masih bisa ditangani.

Namun, jika kasus kembali meningkat lagi seperti menjadi seribu pasien yang butuh dirawat di rumah sakit hal itu bakal membuat beban besar bagi rumah sakit. “Itu akan menjadi beban besar bagi sistem rumah sakit,” kata Ong.

“Jadi menurut saya sistem layanan kesehatan harus mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi."