Sukses

Hati-Hati, Ini 7 Alasan Kenapa Hubungan Bisa Gagal

Sebuah hubungan dapat gagal dan berakhir karena 7 hal ini.

Liputan6.com, Jakarta - Hubungan yang gagal seringkali meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tak terjawab. Banyak faktor yang bisa menyebabkan runtuhnya hubungan, mulai dari perselingkuhan, pertengkaran yang tiada henti, kekerasan, hingga perasaan tidak dihargai atau terlalu dikontrol.

Tidak jarang, rasa bosan dan keterputusan emosional yang perlahan-lahan menyusup juga turut berperan. Ketika ditanya apa yang sebenarnya terjadi, kita cenderung mencari penjelasan yang masuk akal bagi diri sendiri maupun orang lain.

Namun, biasanya kegagalan hubungan ini sudah lama terbentuk, sebagai akibat dari cara kita mengelola emosi dan menyelesaikan masalah sehari-hari. Menurut Psychologytoday.com terdapat 7 alasan mengapa hubungan bisa gagal dan berakhir.

1. Cenderung Menghindari Konflik

Saat memiliki hubungan, terkadang kita memilih untuk mengabaikan konflik dan tanda bahaya demi kelancaran hubungan. Namun, kebiasaan ini dapat menghambat tujuan utama hubungan, yaitu membangun rasa aman dan keterbukaan untuk menyelesaikan masalah bersama. Pada akhirnya, kita perlu berani untuk berbicara dan menghadapi konflik.

Bagi sebagian orang, hal ini terasa sulit karena mereka terbiasa menghindari konflik. Kemungkinan besar, mereka dibesarkan dalam keluarga di mana orang tua tidak menunjukkan emosi atau selalu bertengkar.

Hal ini dapat membuat mereka terlatih untuk menjadi "anak yang baik", menghindari konfrontasi, dan menganut pola pikir "Saya bahagia jika Anda bahagia".

Kebiasaan ini dapat menyebabkan penyesuaian diri yang berlebihan untuk menghindari emosi yang kuat. Alih-alih menyalahkan orang lain, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri.

Rasa frustrasi dan kemarahan pun menumpuk hingga pada akhirnya mereka meledak, bertindak kasar, terjerumus dalam depresi, atau bahkan memilih untuk meninggalkan hubungan.

2 dari 7 halaman

2. Tidak Mengontrol Emosi

Di sisi lain, ada pasangan yang terjebak dalam siklus pertengkaran yang tiada henti. Suasana di antara mereka selalu tegang, bagaikan berjalan di atas bebatuan.

Alih-alih berusaha menyesuaikan diri, mereka justru terjebak dalam mode pertempuran. Ketika salah satu terpancing, pertengkaran mereka bisa dengan mudah berubah menjadi "Perang Dunia III".

Meskipun perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam sebuah hubungan, ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi dapat membawa dampak yang berbahaya. Risiko kerusakan emosional dan bahkan fisik pun nyata di hadapan mereka.

Penting untuk diingat bahwa mengendalikan emosi bukan berarti harus selalu menahan diri. Justru, kuncinya adalah belajar untuk menenangkan diri.

Alih-alih meluapkan emosi secara berlebihan, kita perlu belajar menggunakannya sebagai informasi untuk menyampaikan apa yang kita butuhkan kepada pasangan.

3 dari 7 halaman

3. Melakukan Silent Treatment

Banyak pasangan yang terjebak dalam pola komunikasi yang tidak sehat. Saat terjadi pertengkaran, mereka memilih untuk diam selama beberapa hari. Tidak ada komunikasi, tidak ada pembicaraan, dan mereka berpura-pura tidak ada yang terjadi.

Lebih parah lagi, mereka seringkali "berdamai" dengan permintaan maaf tanpa benar-benar membahas masalah yang mendasarinya. Ketakutan untuk memulai pertengkaran baru mendorong mereka untuk menyembunyikan inti masalah yang ada.

Hal ini membawa dampak negatif yang signifikan. Konflik dan masalah yang tidak terselesaikan terus membayangi hubungan, bagaikan bom yang sewaktu-waktu dapat meledak. Komunikasi pun terhambat, dan mereka hanya terjebak dalam topik-topik aman seperti pekerjaan, anak-anak, atau berita.

Solusi untuk keluar dari siklus ini adalah dengan berani mengambil langkah dan menyelesaikan masalah. Memang, ini membutuhkan keberanian dan risiko, namun dengan komunikasi yang terbuka dan jujur, pasangan dapat membangun hubungan yang lebih sehat dan kuat.

4 dari 7 halaman

4. Kurangnya Intimasi Secara Emosional

Kebiasaan menghindari konflik, silent treatment, atau tumbuh dalam keluarga dengan keintiman emosional yang rendah dapat membawa dampak negatif pada hubungan saat ini.

Hal ini dapat menyebabkan kurangnya keintiman emosional, yang pada gilirannya menimbulkan rasa kesepian, mendorong pasangan untuk terjebak dalam hubungan yang datar.

Kurangnya keintiman emosional ini dapat memicu berbagai masalah serius. Jika Anda dan pasangan takut untuk membuka diri dan saling bergantung, rasa kesepian dapat muncul dan membuat Anda rentan terhadap perselingkuhan atau depresi.

Solusinya adalah dengan berani mengambil risiko dan membangun keintiman emosional. Berusahalah untuk lebih jujur dan lebih percaya kepada pasangan. Jangan ragu untuk mengungkapkan perasaan Anda.

Jadikan hubungan sebagai prioritas utama dan luangkan waktu untuk saling terhubung dan membangun keintiman emosional yang sehat.

5 dari 7 halaman

5. Tidak Ada Kerja Sama dalam Hubungan

Banyak orang mengeluhkan bahwa mereka memikul beban yang lebih besar dalam mengurus keluarga atau mencari nafkah. Hal ini dapat menimbulkan rasa frustrasi, ketidakadilan, dan ketidakpuasan dalam hubungan.

Seringkali, kedua pasangan merasa terbebani dan saling menyalahkan atas apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan. Perdebatan tentang siapa yang melakukan lebih banyak dan siapa yang tidak cukup berkontribusi pun tak terhindarkan. Ketidakseimbangan ini dapat memicu ledakan emosi, depresi, dan kelelahan.

Masing-masing pasangan mungkin berpikir bahwa solusinya adalah dengan membuat pasangan mereka melakukan lebih banyak pekerjaan. Namun, pola pikir ini hanya akan memperburuk situasi dan menciptakan perebutan kekuasaan atau pertengkaran yang tiada henti.

Kuncinya adalah untuk melihat masalah sebagai musuh bersama, bukan sebagai pertarungan antar individu. Pasangan perlu bekerja sama untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Hal ini membutuhkan komunikasi yang terbuka, empati, dan kompromi.

6 dari 7 halaman

6. Perbedaan Pandangan

Perbedaan pandangan dalam hubungan memang tidak dapat dihindari. Topik-topik sensitif seperti libido yang berbeda, pengelolaan keuangan, atau cara membesarkan anak seringkali menjadi sumber perdebatan dan konflik.

Alih-alih mencari solusi bersama, banyak pasangan terjebak dalam perebutan kekuasaan, di mana fokusnya adalah pada siapa yang akan mengalah dan siapa yang menang.

Masalahnya, perdebatan ini seringkali menjadi wadah untuk meluapkan emosi negatif dari masalah lain yang belum terselesaikan dalam hubungan. Kekecewaan dan rasa tidak puas ditumpahkan ke dalam perdebatan tentang pengeluaran uang, jam tidur anak, atau aktivitas seksual.

Solusinya adalah dengan keluar dari pemikiran yang emosional dan kembali ke pemikiran rasional. Penting untuk memahami akar permasalahan dan apa yang sebenarnya dipikirkan dan dikhawatirkan oleh pasangan.

Hindari bersikeras untuk menjadi yang benar dan fokuslah pada mencari solusi yang saling menguntungkan.

7 dari 7 halaman

7. Terlalu Sibuk dan Tidak Memiliki Waktu Untu Satu Sama Lain

Banyak orang dengan kesibukan yang tinggi, terjebak dalam siklus bekerja dan mengurus anak, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk menyelesaikan masalah atau berdialog intim dengan pasangan.

Hal ini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif pada hubungan, seperti kurangnya keintiman, rasa frustrasi, dan bahkan perselingkuhan.

Seringkali, mereka merasa seperti korban keadaan dan tidak berdaya untuk mengubah situasi. Mereka menyalahkan pekerjaan, anak-anak, atau pasangan atas kurangnya waktu dan energi untuk hubungan.

Namun, penting untuk diingat bahwa Anda bukanlah korban. Anda memiliki kendali atas hidup Anda dan pilihan untuk membuat perubahan.

Solusinya adalah dengan mengambil kembali kendali atas hidup Anda. Luangkan waktu untuk merenungkan apa yang perlu diubah agar Anda merasa lebih terkendali, lebih mampu memenuhi kebutuhan Anda, dan lebih terhubung dengan pasangan Anda.