Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa HIV, epidemi virus hepatitis, dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya menyebabkan 2,5 juta kematian setiap tahun.
Terkait data ini, epidemiolog Dicky Budiman memberi tanggapan. Menurutnya, penyakit kelamin atau penyakit seksual menjadi ancaman di dunia termasuk di Indonesia.
Baca Juga
“Ini menjadi ancaman serius di tengah masyarakat dan ini berlaku atau terjadi di Indonesia, di mana program pengendalian penyakit seksual di Indonesia ini masih menjadi tantangan yang serius dan menghadapi kendala yang serius juga,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com, dikutip Jumat (24/5/2024).
Advertisement
Dicky menambahkan, beberapa kendala yang masih terjadi di Indonesia tekait dengan IMS adalah masih adanya stigma, ketertutupan, dan ambivalen. Artinya, di satu sisi masih ada pelarangan terhadap program misalnya pembagian kondom dan sebagainya. Namun, di sisi lain perilaku seks bebas yang tak aman dan berbahaya juga masih marak terjadi.
“Di satu sisi, mengarah pada pelarangan program seperti kondom dan lain sebagainya dengan berbagai alasan. Di sisi lain, kenyataan di lapangan perilaku seks bebas, tidak aman dan tidak sehat ini juga semakin menjamur. Khususnya di kalangan remaja dan termasuk dewasa muda.”
Dibanding era sebelumnya, lanjut Dicky, saat ini akses terhadap perilaku seks bebas semakin mudah.
“Penjual atau penjaja seks ini semakin mudah karena adanya media sosial dengan beragam aplikasi. Mau tidak mau, ini menjadi ancaman ledakan kasus penyakit infeksi menular seksual termasuk hepatitis dan HIV,” jelas Dicky.
Seks Bebas Perlu Jadi Perhatian Semua Pihak
Mengingat seks bebas bisa menjadi pemicu ledakan kasus IMS, maka semua pihak perlu memberi perhatian serius.
“Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan beragam komponen masyarakat, peneliti perguruan tinggi. Di tengah saat ini Indonesia tidak memiliki yang namanya komisi penanggulangan aids. Menurut saya semakin kurang geliatnya, kurang aktifnya kegiatan NGO dan lainnya dibanding era 2000.”
“Padahal, ancamannya dan kondisinya sudah jauh lebih serius. Kan ini menunjukkan hal kontradiktif dan membahayakan,” jelas Dicky.
Advertisement
Laporan WHO Soal Peningkatan Kasus IMS
Dalam laporan terbaru WHO memaparkan bahwa pada 2022, negara-negara anggota menetapkan target ambisius untuk mengurangi jumlah tahunan infeksi sifilis pada orang dewasa. Yakni sebesar sepuluh kali lipat pada tahun 2030, dari 7,1 juta menjadi 0,71 juta. Namun, kasus sifilis baru pada orang dewasa berusia 15-49 tahun meningkat lebih dari 1 juta pada tahun 2022 hingga mencapai 8 juta. Peningkatan tertinggi terjadi di wilayah Amerika dan wilayah Afrika.
Ditambah dengan kurangnya penurunan angka infeksi baru HIV dan virus hepatitis, laporan ini menandai adanya ancaman terhadap pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.
“Meningkatnya kejadian sifilis menimbulkan kekhawatiran besar. Untungnya, terdapat kemajuan penting di sejumlah bidang lainnya termasuk dalam mempercepat akses terhadap komoditas kesehatan penting termasuk diagnostik dan pengobatan,” kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangan resmi yang dipublikasi pada Selasa, 21 Mei 2024.
“Kita mempunyai alat yang diperlukan untuk mengakhiri epidemi ini sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030. Namun, kita sekarang perlu memastikan bahwa dalam konteks dunia yang semakin kompleks, negara-negara melakukan semua yang mereka bisa untuk mencapai target ambisius yang mereka tetapkan sendiri,” tambahnya.
4 IMS yang Dapat Disembuhkan tapi Kasusnya Tetap Tinggi
Tedros menambahkan, setidaknya ada empat IMS yang dapat disembuhkan yakni sifilis (Treponema pallidum), gonore (Neisseria gonorrhoeae), klamidia (Chlamydia trachomatis), dan trikomoniasis (Trichomonas vaginalis). Namun, keempat IMS ini telah menyebabkan lebih dari 1 juta infeksi setiap hari.
Laporan WHO mencatat adanya lonjakan sifilis pada orang dewasa dan ibu (1,1 juta) serta sifilis kongenital terkait (523 kasus per 100.000 kelahiran hidup per tahun) selama pandemi COVID-19. Sementara, pada 2022, terdapat 230.000 kematian terkait sifilis.
Data baru juga menunjukkan peningkatan penyakit gonore multiresisten. Pada 2023, dari 87 negara yang melakukan peningkatan pengawasan resistensi antimikroba gonore, sembilan negara melaporkan peningkatan tingkat resistensi (dari 5 persen menjadi 40 persen) terhadap ceftriaxone, pengobatan lini terakhir untuk gonore.
WHO sedang memantau situasi ini dan memperbarui pengobatan yang direkomendasikan untuk mengurangi penyebaran jenis gonore multi-resisten ini.
Sementara pada 2022, tercatat sekitar 1,2 juta kasus baru hepatitis B dan hampir 1 juta kasus baru hepatitis C.
Perkiraan jumlah kematian akibat virus hepatitis meningkat dari 1,1 juta pada tahun 2019 menjadi 1,3 juta pada tahun 2022 meskipun terdapat alat pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang efektif.
Sementara, infeksi HIV baru hanya berkurang dari 1,5 juta pada tahun 2020 menjadi 1,3 juta pada tahun 2022.
Kasus ini paling banyak ditemukan pada lima kelompok populasi utama yakni:
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
- Pengguna narkoba suntik.
- Pekerja seks.
- Transgender.
- Individu di penjara dan tempat-tempat tertutup lainnya.
Tingkat prevalensi HIV secara signifikan lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Diperkirakan 55 persen infeksi HIV baru terjadi di antara populasi tersebut dan pasangannya.
Kematian terkait HIV juga masih tinggi. Pada 2022, terdapat 630.000 kematian terkait HIV, 13 persen di antaranya terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun.
Advertisement