Sukses

Naturalisasi Dokter Asing, Anggota Komisi IX DPR RI: Perlu Perhatikan Mobilisasi hingga Payung Hukumnya

Adanya mobilisasi dokter atau tenaga kesehatan antar negara ini bukan hal yang baru dan ini sebuah keniscayaan.

Liputan6.com, Jakarta Isu naturalisasi dokter asing tengah berkembang di Indonesia. Hal ini dipicu pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal impor tenaga kesehatan (Nakes) dari luar negeri.

Hal ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak salah satunya Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 memang telah memperbolehkan dokter atau tenaga kesehatan warga negara asing (WNA) praktik di Indonesia. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Di sisi lain, ia tidak memungkiri bahwa rasio dokter dengan jumlah penduduk di Indonesia belum sebanding. Menurut data Kementerian Kesehatan, rasio dokter umum baru 0,47 : 1000 penduduk. Idealnya adalah 1:1000. Belum lagi terdapat permasalahan distribusi.

Hal ini yang menjadi salah satu dasar Kementerian Kesehatan untuk mempersilakan dokter WNA masuk. Selain itu, hadirnya tenaga kesehatan asing ini dapat memacu tenaga kesehatan dalam negeri untuk berkompetisi dan meningkatkan kemampuan.

“Adanya mobilisasi dokter atau tenaga kesehatan antar negara ini bukan hal yang baru dan ini sebuah keniscayaan,” kata Edy dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (29/5/2024).

Bahkan, di tingkat ASEAN sudah ada framework agreement of services yang memungkinkan pada 2025 dokter-dokter di ASEAN bergerak bebas antar negara di ASEAN. Sehingga, menurut Edy, yang diperlukan adalah kesiapan menghadapi mobilisasi dokter dan tenaga kesehatan ini.

2 dari 4 halaman

UU 17 Tahun 2023 Bisa Jadi Peta Jalan Naturalisasi Dokter Asing

Politisi PDI Perjuangan ini mengingatkan adanya UU 17 Tahun 2023 yang bisa menjadi peta jalan sekaligus pagar bagi Indonesia. Pada Pasal 248 sampai 257 sudah diatur bagaimana syarat WNA ini isa praktik di Indonesia.

“Jadi tidak semua diterima dan bebas menggelar praktik di Indonesia,” tuturnya.

Edy menambahkan, saat menyusun UU ini, Komisi IX DPR RI sudah mempertimbangkan berbagai risiko dan melakukan mitigasi.

WNA yang bisa praktik di Indonesia berlaku untuk dokter spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan dengan tingkat kompetensi tertentu.

“Mereka harus dievaluasi secara administratif maupun kemampuan praktik. Evaluasi dilakukan oleh Kemenkes dan Kemendikbud serta melibatkan konsil dan kolegium,” jelas Edy.

3 dari 4 halaman

Evaluasi Calon Dokter Naturalisasi adalah Langka Awal Saring Kompetensi

Edy berpendapat, evaluasi dokter asing yang hendak melakukan naturalisasi adalah langkah awal untuk menyaring kompetensi mereka sesuai dengan standar kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia. Sekaligus melihat track record di negara asalnya.

Setelah dinyatakan kompeten dari hasil uji kompetensi, maka WNA ini harus mengikuti adaptasi di fasilitas kesehatan. Dalam proses adaptasi ini mereka harus punya surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).

“Yang tidak lulus uji kompetensi gimana? Ya kembali ke negara asalnya,” tutur legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini.

4 dari 4 halaman

Perlu Pelatihan Bahasa Indonesia

Para dokter asing pada akhirnya dapat melakukan praktik jika fasilitas kesehatan yang meminta. Faskes pun harus memberikan pelatihan Bahasa Indonesia agar mampu komunikasi dengan baik kepada pasien.

Dokter spesialis dan subspesialis ini dibatasi waktu praktik dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali. Fokus mereka adalah alih teknologi dan transfer ilmu pengetahuan. 

“Yang diutamakan adalah dokter dan tenaga kesehatan WNI,” tegas Edy.

Dia juga meminta agar pemerintah segera menerbitkan aturan turunan dari UU 17/2023. Tujuannya, supaya ada payung hukum yang lebih teknis mengenai dokter dan tenaga kesehatan asing yang masuk ke Indonesia.

“Saran saya rampungkan dulu aturannya baru setelah itu membuka WNA masuk. Jangan buru-buru,” tutur Edy.

Edy menambahkan jika kacamata yang digunakan Kemenkes dalam membuka kesempatan dokter asing ini harusnya bertumpu pada tujuan keselamatan pasien. Ini untuk melindungi masyarakat dari tindakan malpraktik yang merugikan. Selain itu juga harus menjaga hubungan dokter dan tenaga kesehatan WNI agar tidak merasa dianaktirikan. Ini semua merupakan amanah UU 17/2023,” pungkasnya.