Liputan6.com, Jakarta Pakar kesehatan global sekaligus epidemiolog Dicky Budiman ikut angkat bicara soal isu naturalisasi dokter asing yang sempat disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Menurutnya, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan maka pasti akan ada plus minus atau sisi positif dan negatifnya.
Baca Juga
“Tentu setiap kebijakan pasti ada plus minusnya, ada sisi positif negatifnya,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Rabu (29/5/2024).
Advertisement
Untuk menentukan bahwa suatu kebijakan lebih banyak memiliki kontribusi positif ketimbang negatifnya, maka setiap keputusan perlu didasarkan pada data dan analisa strategis yang sifatnya berkelanjutan. Artinya tidak hanya dianalisis saat ini tapi juga di masa depan setelah kebijakannya berjalan.
“Tanpa mengenyampingkan tinjauan-tinjauan dan pandangan-pandangan di masa lalu karena ini bukan isu baru. Pemikiran-pemikiran ini (naturalisasi dokter) sudah ada sejak dulu,” ujar mantan kepala kerja sama teknik dan kerja sama internasional di Kementerian Kesehatan.
Jika bicara soal naturalisasi dokter asing, lanjut Dicky, maka ini terkait dengan tenaga kerja yang sudah menjadi dokter di negaranya kemudian akan dipekerjakan di Indonesia.
“Apakah sebagai WNA dengan izin tertentu ataupun sebagai WNI. Apapun itu, kembali kepada kriteria yang kita harapkan. Karena bicara konsep naturalisasi dokter, ini tentu tidak semudah seperti naturalisasi pemain sepak bola.”
Tak Semudah Naturalisasi Pemain Sepak Bola
Dicky mengatakan naturalisasi dokter tidak semudah naturalisasi pemain bola lantaran skill atau kemampuan yang ditawarkan para pemain bola tidak berdampak langsung pada kesehatan manusia.
“Skill pemain sepak bola tidak berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, tidak ada yang sifatnya berdampak langsung pada orang atau menyangkut jiwa seseorang.”
“Tidak serta merta dokter asing itu dipastikan akan jauh lebih baik dari kita, tidak. Artinya perlu ada kriteria. Tidak serta merta bahwa keahlian di luar itu tidak ada di Indonesia. Yang menjadi perkara adalah apakah kita kurang dan lain sebagainya,” papar Dicky.
Advertisement
Tanggapan Anggota Komisi IX DPR RI
Selain Dicky, isu naturalisasi dokter asing juga sudah mendapat tanggapan dari Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 memang telah memperbolehkan dokter atau tenaga kesehatan warga negara asing (WNA) praktik di Indonesia. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Di sisi lain, ia tidak memungkiri bahwa rasio dokter dengan jumlah penduduk di Indonesia belum sebanding. Menurut data Kementerian Kesehatan, rasio dokter umum baru 0,47 : 1000 penduduk. Idealnya adalah 1:1000. Belum lagi terdapat permasalahan distribusi.
Hal ini yang menjadi salah satu dasar Kementerian Kesehatan untuk mempersilakan dokter WNA masuk. Selain itu, hadirnya tenaga kesehatan asing ini dapat memacu tenaga kesehatan dalam negeri untuk berkompetisi dan meningkatkan kemampuan.
“Adanya mobilisasi dokter atau tenaga kesehatan antar negara ini bukan hal yang baru dan ini sebuah keniscayaan,” kata Edy dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (29/5/2024).
Bahkan, di tingkat ASEAN sudah ada framework agreement of services yang memungkinkan pada 2025 dokter-dokter di ASEAN bergerak bebas antar negara di ASEAN. Sehingga, menurut Edy, yang diperlukan adalah kesiapan menghadapi mobilisasi dokter dan tenaga kesehatan ini.
Tidak Semua Dokter Asing Bisa Naturalisasi
Politisi PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa ada UU 17 Tahun 2023 yang bisa menjadi peta jalan sekaligus pagar bagi Indonesia. Pada Pasal 248 sampai 257 sudah diatur bagaimana syarat WNA ini bisa praktik di Indonesia.
“Jadi tidak semua diterima dan bebas menggelar praktik di Indonesia,” tuturnya.
Edy menambahkan, saat menyusun UU ini, Komisi IX DPR RI sudah mempertimbangkan berbagai risiko dan melakukan mitigasi.
WNA yang bisa praktik di Indonesia berlaku untuk dokter spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan dengan tingkat kompetensi tertentu.
“Mereka harus dievaluasi secara administratif maupun kemampuan praktik. Evaluasi dilakukan oleh Kemenkes dan Kemendikbud serta melibatkan konsil dan kolegium,” jelas Edy.
Advertisement