Sukses

Malu untuk Menangis? Ini 3 Bahaya Menahan untuk Meluapkan Emosi

Menekan emosi dengan menahan tangis sejatinya dapat menimbulkan efek negatif baik untuk mental ataupun fisik.

Liputan6.com, Jakarta Menahan luapan emosi lantaran malu untuk menangis bisa memicu berbagai masalah, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan jiwa.

Hal ini disampaikan Kepala Sub Instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat Lawang, Noerul Ikmar.

“Menekan emosi sejatinya dapat menimbulkan berbagai masalah. Hal tersebut dapat menyebabkan efek negatif baik untuk mental ataupun fisik,” kata Noerul mengutip laman resmi Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat Lawang, Kamis (4/7/2024).

Efek negatif dari menahan luapan emosi yakni:

  • Menurunnya sistem kekebalan tubuh.
  • Penyakit kardiovaskular dan tekanan darah tinggi.
  • Memengaruhi kondisi kesehatan mental termasuk munculnya kecemasan, stres bahkan depresi.

“Ada kalanya kita mengalami suatu keadaan di mana kita merasa sangat sedih sehingga ingin mengekspresikan emosi tersebut. Salah satu contoh ekspresi emosi adalah dengan menangis. Sayangnya, kewajaran menangis masih dipertanyakan dalam kehidupan sehari-hari,” papar Noerul.

Saat sedih yang tidak tertahan, lanjut Noerul, ada kalanya seseorang ingin menangis, tetapi terpaksa menahan karena stigma yang ada di masyarakat. Hal tersebut karena terlalu memikirkan reaksi orang lain. Ada ketakutan dianggap cengeng atau berlebihan.

Akibat terlalu memikirkan reaksi atau pendapat orang lain, akan ada kecenderungan menekan perasaan sedih untuk tidak menangis. Hal ini dapat membuat emosi semakin berantakan karena tidak teregulasi dengan baik. Ada harapan, dengan menyangkal perasaan sedih dan menahan tangis akan menghilangkan perasaan tersebut padahal nyatanya tidak seperti itu.

2 dari 4 halaman

Menangis adalah Reaksi Alami untuk Regulasi Emosi

Banyak yang belum memahami bahwa menangis merupakan reaksi alami manusia untuk regulasi emosi, sambung Noerul. Ini termasuk menangis karena sedih, kehilangan, rasa frustasi atau bahkan tangis kebahagiaan.

Di tengah masyarakat, menangis masih kerap dikaitkan dengan kelemahan dan tanda ketidakberdayaan seseorang. Stigma ini terjadi terutama pada laki-laki.

“Ada konstruksi gender yang membuat menunjukkan emosi terutama menangis adalah hal yang tabu bagi laki-laki. Laki-laki bahkan dituntut untuk tetap tegar apapun kondisi emosinya baik ketika sedang bersedih ataupun berduka.”

“Laki-laki dianggap lemah bahkan tidak jantan ketika mengekspresikan emosinya terutama dalam bentuk tangisan. Kondisi tersebut memicu tekanan yang lebih besar untuk laki-laki untuk tidak menangis. Keadaan ini dapat menjadi bibit munculnya toxic masculinity,” ujar Noerul.

3 dari 4 halaman

Pengaruh Toxic Masculinity pada Kesehatan Mental

Pengaruh dari adanya toxic masculinity terhadap kesehatan mental adalah ketika seseorang merasakan munculnya tekanan batin yang memengaruhi segala kegiatan keseharian. Dimulai dengan disfungsi peran dalam keseharian.

Mereka yang telah menerima label lemah atau tidak jantan sering berpikir bahwa apakah dirinya seburuk itu di mata orang lain atau hanya pikirannya saja. Perlakuan seperti ini berujung membuat korban merasa takut dan berusaha menutup diri dari lingkungan sekitar bahkan terjadinya trauma berkepanjangan.

4 dari 4 halaman

Apa Benar Menangis Tidak Menyelesaikan Masalah?

Salah kaprah lainnya tentang menangis adalah anggapan bahwa menangis tidak menyelesaikan masalah.

“Ada benarnya memang dengan menangis tidak lantas membuat masalah menjadi selesai atau hilang begitu saja. Namun, menangis merupakan salah satu cara untuk merilis rasa sakit secara emosional yang kemudian dapat membuat perasaan menjadi lebih tenang.”

“Hal ini terjadi karena ketika menangis kita melepaskan oksitosin dan opioid endogen atau biasa dikenal dengan endorfin. Zat kimia tersebut dapat membantu perasaan menjadi lebih baik dan mengurangi rasa sakit khususnya rasa sakit emosional,” kata Noeroel.

Hal yang perlu dipahami bersama yakni menangis adalah sesuatu yang manusiawi. Jika merasa sedih dan ingin menangis, maka sebaiknya segera dirilis perasaan tersebut.

Siapapun dapat meluangkan waktu dan mencari tempat yang nyaman untuk menangis. Namun, bila rasa ingin menangis tidak terkendali, maka hal tersebut merupakan alarm untuk segera memeriksakan diri ke tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Rasa ingin menangis yang tak terkendali ditandai dengan kemunculannya yang terus menerus tanpa didasari sebab yang jelas hingga mengganggu aktivitas harian.